Kamis, 07 Januari 2010

Renungan-Renungan Harian

RENUNGAN-RENUNGAN HARIAN
Oase di Tengah Kegersangan








Oleh





I s h a k




Kumpulan Tulisan Dakwah di Tambang



Daftar Isi

1. Urgensi Istighfar
2. Tobat Sebelum Tertutup Pintunya
3. Mendidik Diri Mengenal Allah
4. Mencintai Rasulullah
5. Memperbarui Ikrar Syahadat
6. Mazhab Iblis
7. Ikhtiar dan Tawakkal
8. Golongan Orang Orang yang Sesat
9. Mencintai Ilmu
10. Gugurkan Segala Kesombongan dengan Sholat Berjamaah
11. Golongan Orang-Orang Bertakwa
12. Tahu, Sengaja, Tidak Terpaksa
13. Jilbab Keselamatan
14. Ibda' Bi Nafsik, Mulailah dari Diri Sendiri
15. Tumbuh Suburnya Generasi Minimalis
16. Kalau Begitu Bunuh Saja Anakmu
17. Nikmat yang Melenakan
18. Doa, Permakluman Ilahi Pengikat Persaudaraan
19. Khusyu’
20. Tamak
21. Memperhatikan Tanda-Tanda Kebesaran Ilahi Pada Diri Sendiri
22. Memperkuat Persaksian
23. Buku Panduan Pelatihan
24. Menyepelekan Amal
25. Life Begins at Forty
26. Alhamdulillah, Nikmat Hidup
27. Larangan dan Kewajiban Dalam Islam
28. Episode Cinta
29. Persiapan
30. Sunnatullah
31. Petunjuk bagi Orang-Orang Bertakwa
32. Khawatir dan Sedih
33. Syukur nikmat
34. Alhamdulillah, Matahari Bersinar Kembali
35. Ibadah Sungsang
36. Dakwah Itu Berat, Jenderal!
37. Art of War
38. Art of War (lanjutan)
39. Art of War (akhir)
40. Muhasabah
41. Tawakkal Tanpa Amal
42. Kaum Perusak
43. Mudahnya Membuat Kerusakan
44. Kedamaian dalam Al Qur'an
45. Munajat (Rindu Rasul)
46. Menghitung Amal Diri
47. Dan Hidup Adalah Perjalanan Menuju Ilahi
48. Memahami Hidup
49. Identitas Islam
50. Generasi Pelurus
51. Memperbaiki Hubungan Silaturrahim
52. Sabar
53. Mengapa Mesti Berdoa
54. Malu
55. Malu (sambungan)
56. Syukur Hidayah
57. Telanjang dan Menangis
58. Ibadurrahman
59. Ibadurrahman (lanjutan)
60. Memberi Warna
61. Surat An Naba'
62. Tak Pernah Kecewa Berdoa



Urgensi istighfar

Dalam surat pendek yang biasa kita kenal dengan nama surat An Nashr (110), Allah SWT berfirman yang artinya kira-kira: apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat orang berbondong-bondong masuk agama Allah (Islam) maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunlah kepada-Nya.Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.

Ada sesuatu yang menarik yang kita bisa lihat dalam surat ini. Apabila kita mendapatkan pertolongan Allah, apapun bentuk pertolongan Allah dan juga kemenangan, entah itu kemenangan dalam hidup berupa kenikmatan hidup, kenyamanan bekerja dan lain sebagainya, hal pertama yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk kita lakukan adalah bertasbih, subhanallah. Kita diperintah bertasbih dengan memuji Allah. Tetapi tidak berhenti di situ. Setelah memuji-Nya kita juga justru diperintah beristighfar, memohon ampunan Allah SWT.

Ini benar-benar menarik. Kalau kita cermati, ayat ini tidak bilang kepada kita untuk bersyukur, tidak menggunakan kata fasykur (maka bersyukurlah) tetapi menggunakan kata fasbih (maka pujilah). Jadi hal pertama, tasbih dengan tahmid. Selanjutnya kita diharuskan beristighfar.

Kalau diperhatikan, ternyata memang benar dalam keadaan menang, nyaman, enak, damai, kita cenderung lupa segalanya. Memang keadaan yang nyaman, kehidupan yang mapan dan bentuk-bentuk kemenangan lain itu cenderung melenakan. Karena itulah kita diminta segera beristighfar. Jangan sampai kita lupa diri dengan kondisi tersebut lalu lebih parah lagi lupa adanya kuasa di atas kuasa kita, Allah SWT. Inilah makna mendalam yang terkandung dalam surat An Nashr ini.

Subhanallah, alangkah tingginya ajaran Al Qur’an.

Sumbawa, 8 January 2002

Tobat Sebelum Tertutup Pintunya

Kalau anda pernah menghadiri pemakaman, entah itu pemakaman keluarga, sahabat kawan tetangga atau siapa saja, coba perhatikan perbuatan si mayit tersebut sewaktu masih hidup. Bila ternyata dulunya ia adalah orang yang tidak lurus-lurus amat hidupnya dalam arti kalau pun beragama, ia beragama sambil lalu, sekali-kali melanggar larangan dan meninggalkan perintah, sholat ya sholat, bohong jalan terus, dosa-dosa dikumpulkan, atau kalau pun berbuat kebaikan ia lakukan setengah-setengah, maka coba tanya diri sendiri, apa yang kira-kira si mayit tersebut akan lakukan apabila diberikan kesempatan untuk hidup kembali oleh Allah SWT. Apakah menurut anda ia akan berbuat baik terus-menerus? Insya Allah, jawabannya ya.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Mukminun ayat 99
Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), (QS. Al Mukminun [23]: 99).
(Lihat juga QS 7:53; 14:44; 23:107; 32:12)

Atau coba bayangkan kematian itu menggunakan prosedur yang memperbolehkan calon mati mengetahui hari kematiannya. Umpamanya prosedur kematian menyatakan bahwa setiap satu pekan sebelum hari kematian, dikeluarkan pengumuman mengenai siapa yang akan meninggal pekan depan. Menurut anda apa yang akan dilakukan oleh manusia dalam menyikapi prosedur permakluman kematian seperti ini? Tobat. Ya, Insya Allah masjid-masjid akan selalu dipenuhi oleh orang-orang yang bertobat.

Ikhwan fillah, Sayangnya kedua perumpamaan di atas tidak berlaku. Dan sayangnya juga, seperti jodoh dan rezeki, ajal juga termasuk sesuatu yang misterius yang tidak ada seorang pun mengetahui kapan dan di mana ia akan meninggal. Oleh karena itu, sepatutnyalah kita yang sekarang ini masih diberikan kesempatan hidup melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Sepatutnya kita yang masih hidup ini memanfaatkan usia kita dengan tobat sebelum tertutup pintu tobat itu.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'kub. (Ibrahim berkata):"Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al Baqarah [2]: 132).

Saya ingin menggarisbawahi potongan kalimat terakhir, janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Karena mati adalah sesuatu yang misterius dan tidak dapat kita ketahui, tidak dapat kita atur sesuai keinginan kita, tidak dapat ditunda-tunda kalau memang sudah saatnya tiba, yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri. Kita harus mengkondisikan diri tetap dalam keadaan Muslim. Dalam semua momen kehidupan kita, kita harus siap dalam keadaan Islam, berserah diri. Sehingga kalaupun kematian itu datang menjemput kita, kita sudah siap dengan jawaban, fasyhad bianna muslimun maka saksikanlah bahwa kami ini orang-orang Muslim.

Wallahua’alam bishshowab.

Sumbawa, 7 Februari 2002

Mendidik Diri Mengenal Allah

Yang pertama kali ditangani oleh Rasulullah SAW dalam membina kaum muslimin generasi awal adalah pengenalan terhadap Allah sebagai Tuhan yang patut disembah dan membebaskan mereka dari penyembahan kepada selain Allah. Rasulullah mengajarkan kepada mereka siapa Tuhan sesungguhnya. Inilah yang disebut dengan makrifatullah, mengenal Allah. Tuhan Allah rabbil ‘alamin diperkenalkan kepada mereka dengan segala kemahaan-Nya dan semua sifat-sifat-Nya.

Rasulullah SAW, atas perintah Allah SWT, mendidik para sahabat dengan pengetahuan ketauhidan, pengesaan terhadap Allah jauh sebelum beliau mendidik mereka tentang kewajiban-kewajiban ritual, seperti sholat, puasa dll. Hal ini merupakan landasan yang kuat dari segala ketaatan beragama, ketaatan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan dalam agama. Rasulullah mengetahui, apabila para sahabat sudah mengenal Allah, tidak menyembah kepada selain Dia dan memahami segala sifat-sifat Allah, maka segala ketaatan tersebut tidak akan membutuhkan pengawasan manusia karena memang pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah adalah Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Maka kita lihat hasil didikan Rasulullah adalah generasi yang benar-benar mengenal Allah. Di zaman Umar ra, seorang anak gembala, ya cuma anak gembala bukan anak sekolahan, bukan anak gedongan dirayu untuk menjual seekor kambing milik tuannya, yang pada waktu itu walaupun jumlah kambing yang digembalakannya beribu-ribu ekor, tetapi sewaktu dirayu untuk menjual satu ekor saja, anak gembala ini balik bertanya kepada Umar ra, kalau tuan saya tidak mengetahui, maka di mana Allah. Artinya si anak gembala ini ingin mengatakan kepada Umar bukankah Allah Tuhan sekalian alam ini sungguh Maha Mengetahui? Inilah salah satu bukti hasil didikan Rasulullah. Sebuah generasi yang walaupun ada kesempatan untuk berbuat maksiat, tetapi memiliki kepahaman yang mendalam bahwa Allah sungguh Maha Mengetahui.

Di saat sekarang pun seharusnya pemahaman seperti ini harus tetap menjadi sesuatu yang kita percayai. Konsep Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala perbuatan kita akan cukup menjadikan kita orang yang istiqomah, tetap lurus dalam kebaikan. Sewaktu ada kesempatan untuk berbuat maksiat, terutama dalam keadaan sendiri, kita segera sadar, Allah selalu mengawasi kita. Kalau sudah begini yang ada dalam kesadaran kita, dalam keyakinan kita, penyakit-penyakit kronis dalam kemasyarakatan tentu tidak akan pernah timbul. Sewaktu baru dalam tataran niat saja kita akan bermaksiat kepada Allah, melanggar perintah-Nya kita segera memperingati diri bahwa Allah mengetahui bahkan niat yang baru terbersit di dalam hati.

Dua saja sifat Allah yang kita pahami yaitu Allah Maha Mengetahui dan Allah Maha Melihat akan cukup menjadi benteng bagi kita atas segala godaan untuk bermaksiat kepadaNya. Ketaatan terhadap perintah Allah akan didasari oleh keikhlasan dan bukan didasari oleh rasa sungkan terhadap atasan atau rekan sekerja atau siapa saja. Segala perintah agama kemudian, misalnya perintah sholat, puasa, zakat dll., tidak akan terlalaikan sebab ada keyakinan bahwa semua itu tercatat, diketahui oleh Allah SWT yang kemudian harus kita pertanggungjawabkan di hari kemudian.

Mari kita pahamkan diri bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

Wallahua’lam bishawab

Sumbawa, 24 Maret 2002.

Mencintai Rasulullah

Demi Allah, belum sempurna iman seseorang sampai aku lebih dicintai daripada bapak-ibunya, keluarganya dan manusia seluruhnya (Al Hadist).

Sekarang ini Rasulullah telah tiada. Cara yang paling tepat untuk menunjukkan kecintaan kita adalah mengikuti semua ajarannya, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah yang bersumber dari wahyu Ilahi. Mengikuti semua ajaran Nabi berarti juga mengikuti ajaran Allah SWT karena semua apa yang disampaikannya bersumber dari wahyu Ilahi. Al Qur’an telah menegaskan hal ini, bahwa semua yang dibawa oleh Rasulullah bukanlah berasal dari dirinya: Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. An Najam 53:1-4)

Agama Islam ini, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah yang berdasarkan wahyu Ilahi ini sudah demikian paripurna, lengkap menyeluruh mengatur semua aspek kehidupan kita. Ia mengatur dari mulai kita bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan seandainya pun di tengah-tengah tidur kita terbangun, kita akan dapatkan pembahasan mengenai kegiatan di antara tidur ini baik itu aktivitas rohani, misalnya mendekatkan diri dengan Ilahi melalui ibadah sholat tahajjud maupun aktivitas non-spiritual. Kesemuanya sudah tersusun lengkap di dalam Islam.

Persaudaraan, akhlak mulia, penghormatan terhadap kemanusiaan semua manusia dalam arti persamaan derajat juga mendapatkan porsi yang besar dalam ajaran ini. Kasih sayang sesama manusia tanpa memandang status keduniaan sangat jelas dalam Islam.

Pernah salah seorang sahabat ‘terpandang’ tanpa sengaja melakukan penghinaan terhadap sahabat Bilal dengan memanggilnya dengan sebutan putra budak hitam. Mendengar itu muka Rasulullah merah padam, marah sampai keluar ucapan celaka, celaka, celaka tiga kali. Lanjutan hadis mengenai hal ini menegaskan bahwa tidak ada kelebihan keturunan arab dan bukan arab. Yang membedakan antara seorang hamba dengan hamba lainnya hanyalah derajat ketakwaan. Mendengar teguran keras dari Rasulullah, sang sahabat bangsawan tersebut langsung menjatuhkan diri di hadapan Bilal, dengan menempelkan pipinya di tanah meminta Bilal untuk menginjak mukanya sebagai balasan atas penghinaan yang telah beliau lakukan. Subhanallah!

Bilal, salah seorang sahabat keturunan kulit hitam, yang dulunya seorang hamba sahaya kemudian dibebaskan oleh Abu Bakar, yang bermuka buruk sampai kalau pun tersenyum anak kecil pun menangis ketakutan, Bilal yang miskin dan hitam ini pun mendapatkan penghormatan yang sama dengan sahabat-sahabat lain yang kebetulan mendapatkan anugerah kekayaan. Bahkan diceritakan dalam sebuah hadis sewaktu melakukan Isra’ Mikraj, Rasulullah menemukan terompah Bilal sudah lebih dahulu berada di surga. Jadi betul-betul hanyalah derajat ketakwaan yang membedakan, bukan derajat lainnya. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa.

Marilah sekarang kita tengok keseharian kita. Berapa sering kita nunduk-nunduk atau paling tidak merasa lebih sreg bergaul dengan orang-orang perlente, golongan bos-bos; dan berapa sering kita acuh tak acuh terhadap orang-orang yang di bawah kita, lebih rendah status keduniaannya daripada kita. Ada dikotomi pergaulan staff – nonstaff. Terkadang kita juga sering menerapkan persaudaraan parsial. Terhadap orang-orang yang segolongan dengan kita, alangkah manis raut muka dan senyum kita. Panggilan saudara, akhi dan jabat erat kita berikan kepada ikhwan-ikhwan yang sekelompok dengan kita, sementara orang yang di luar kelompok kita, untuk tersenyum pun terasa berat. Dakwah mengalir deras, persaudaraan terasa kental untuk ikhwan-ikhwan yang terbiasa bersama kita di jamaah sholat, sedangkan orang yang baru datang, sambutan hangat hanya milik orang-orang ahli pengajian yang bersama kita. Astaghfirullah!

Ini baru satu ajaran yang mestinya kita pegang erat-erat, kita terapkan tanpa membeda-bedakan status, kedudukan dunia.

Mari kita renungkan hal ini.

Terakhir, saya ulangi hadis Rasulullah yang saya kutip di atas. Demi Allah, belum sempurna iman seseorang sampai aku lebih dicintai daripada bapak-ibunya, keluarganya dan manusia seluruhnya dengan harapan agar kita semua dapat membuktikan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dengan melaksanakan semua ajarannya.

Wallahua’lam bishshowab

Sumbawa, 25 Februari 2002


Memperbarui Ikrar Syahadat

Syarat sah syahadat sebagai bukti keislaman kita ada tiga. Pertama adalah syahadat tersebut harus diucapkan dengan lisan. Walaupun ada orang misalnya dari pengikut agama lain sering mencoba melaksanakan ibadah-ibadah ritual kita, umpamanya ikut berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi karena lisannya tidak pernah mengikrarkan persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, maka orang tersebut belum termasuk di antara golongan orang-orang Muslim. Jadi pernyataan dengan lisan merupakan gerbang menuju ke dalam golongan Islam.

Syarat yang kedua adalah apa yang telah diikrarkan dengan lisan tersebut harus dibenarkan dengan hati. Seberapa pun seringnya bibir menggumamkan syahadat, tetapi apabila hati menolak pernyataan tersebut, maka ikrar persaksian tersebut dianggap batal. Mungkin di tengah-tengah kita banyak kita jumpai orang yang sekedar mengucapkan syahadat untuk tujuan-tujuan tertentu, untuk dapat sekedar diakui sebagai bagian dari golongan Islam yang kemudian agar sah sebuah pernikahan misalnya, padahal hatinya menyimpan niat jahat menolak pernyataan tersebut. Inilah munafik. Antara ikrar lisan dengan pernyataan hati terputus, tidak sejalan dan bahkan di dalam hati menolak pernyataan lisannya sendiri. Allah SWT menjelaskan prilaku orang seperti ini sebagai orang-orang yang:

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman". Dan apabila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (QS. 2:14).

Syarat terakhir adalah peryataan lisan tersebut hari dibuktikan dengan perbuatan. Yang namanya saksi akan selalu dimintai bukti-bukti penguat atas persaksiannya. Apabila sebuah persaksian yang tanpa disertai bukti yang kuat, maka otomatis pembuktiannya menjadi lemah dan inilah yang disebut dengan mengaku-ngaku. Seseorang yang mengaku beriman kepada Allah tetapi tidak menjalankan perintah-perintah-Nya bahkan melanggar larangan-Nya jelas dapat dikatakan sebagai saksi yang memiliki bukti yang lemah, sehingga persaksiannya tertolak.

Pernyataan lailaha illallah Muhammada rrasulullah memang merupakan kunci untuk masuk ke dalam anugerah Allah yaitu surga. Akan tetapi perlu diingat, kunci itu juga memiliki gigi-gigi. Apalah artinya sebuah kunci bila tidak bergigi. Nah gigi dari kunci untuk dapat membuka pintu surga ini adalah ketaatan, ketaqwaan terhadap pelaksanaan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Sekarang kita tanya diri kita masing-masing, konsistenkah apa yang kita ucapkan dengan apa yang kita yakini kebenarannya? Apakah antara pernyataan lisan, pembenaran dengan hati itu sejalan dengan perbuatan-perbuatan kita? Apabila ternyata masih terputus, tidak bersesuaian antara ketiganya, maka marilah mulai hari ini kita tanamkan niat untuk melaksanakan anjuran Rasulullah untuk selalu memperbarui syahadat kita.

Ya Allah bimbinglah kami untuk selalu berjalan di atas jalan yang telah Engkau ridhoi. Amien.

Wallahua’lam Bishowab

Sumbawa, 25 Maret 2002

Mazhab Iblis

Allah berfirman, "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu". Iblis menjawab, "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Al A’raf:12)

Ikhwani fillah, dialog tersebut terjadi antara Allah Al Khaliq dengan Iblis laknatullah sewaktu penciptaan Adam. Dengan kesombongan yang demikian besar Iblis berani ingkar kepada perintah Allah untuk bersujud kepada Adam hanya karena ‘merasa’ lebih baik dari Adam. Dia yang diciptakan dari api mengaku lebih baik dari Adam yang Allah ciptakan dari tanah. Dan di akhir episode, rasa besar diri Iblis inilah yang kemudian mengantarkannya mendapat julukan laknatullah.

Mari kita renungi apa yang diakui oleh Iblis laknatullah ini. Iblis mengaku berkualitas lebih baik dari pada Adam hanya gara-gara bahan penciptaannya dari api sedang Adam Allah ciptakan dari tanah. Inilah mazhab, jalan pola pikir Iblis. Iblis mendasari penilaian baik dan buruk hanya atas dasar bahan penciptaan, atas dasar materi, sesuatu yang kasat mata. Bukankah baik dan buruk itu adalah nilai? Jadi tentu saja tidak pantas kita menilai berdasarkan materinya. Dan kita, ternyata kita pun seringkali mengikuti pola pikir dan perilaku Iblis ini. Penilaian baik dan buruk terhadap seseorang sering kita dasarkan pada jabatan, kekuasaan, harta kepunyaan orang tersebut. Terhadap orang yang golongan menengah ke atas kita sering nunduk-nunduk, manggut-manggut, inggih-inggih dengan tangan menekuk di bawah pusar. Sedangkan terhadap orang yang berada di bawah kita, orang miskin di sekeliling kita, seringkali kita berkacak pinggang setinggi dada hanya gara-gara kita merasa penciptaan kita, nasib dan nasab kita, lebih baik dari dia. Naudzubillah.

Jelas pengakuan seperti ini bertentangan dengan garis yang telah ditetapkan oleh Allah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa. Inilah konsep baik dan buruk dalam pandangan Allah yang tercantum di dalam Al Qur’an. Yang paling baik ialah dia yang paling ikhlas menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Yang paling buruk adalah dia yang paling sombong bermaksiat kepada Allah.

Ikhwan fillah, saudaraku, sudah saatnya kita mengoreksi diri sambil memohon kepada Allah agar dijauhkan dari mazhab, pola pikir dan perilaku Iblis ini. Terakhir, satu-satunya cara untuk mendapatkan gelar terbaik adalah dengan bertaqwa, dan tidak ingkar kepada perintah-perintah Allah. Hanya sekali Iblis ingkar, bermaksiat terhadap perintah Allah dia sudah digelari laknatullah. Dan setelah dilaknat oleh Allah, Iblis berjanji untuk menyesatkan umat manusia semuanya. Jadi mari kita memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari perilaku Iblis dan godaannya.

Wallahua’lam bishshowab.

Sumbawa, 26 Maret 2002


Ikhtiar dan Tawakkal

Di dalam kehidupan ini, ada empat kemungkinan yang dapat kita jumpai di dalam urusan berikhtiar, apapun bentuk ikhtiar yang kita dilakukan. Kemungkinan pertama, seringkali kita temui orang yang berusaha dan berhasil. Kemungkinan kedua, ada juga orang yang walaupun telah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi kemudian tujuannya tidak tercapai. Yang ketiga, walau pun agak jarang tetapi ada juga orang yang sebenarnya tidak berusaha, atau usaha yang dilakukannya itu minimal, tetapi juga berhasil. Yang terakhir, lebih sering kita jumpai orang yang tidak berusaha, dan tidak berhasil. Jadi, ada orang yang berusaha, berhasil; ada yang berusaha tetapi tidak berhasil; tidak berusaha, berhasil dan terakhir, tidak berusaha, tidak berhasil.

Keempat fakta ini menunjukkan kepada kita, bahwa kita tidak bisa dengan pasti mengetok palu, memastikan bahwa keberhasilan yang kita akan peroleh berbanding sejajar dengan usaha yang kita lakukan. Kalau hal ini kita yakini, maka kita cenderung tidak akan mau menerima kegagalan yang kita terima. Yang harus kita yakini adalah kita hanya berkewajiban berusaha, berusaha dengan segenap kemampuan kita untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian setelah kita berusaha dengan maksimal, hasilnya kita serahkan kepada kehendak Ilahi.

Konsep yang harus kita tanamkan di dalam berusaha adalah la haula wa la quwwata illa billah, tiada daya dan kekuatan selain daya dan kekuatan milik Allah. Setelah berikhtiar, kita serahkan kepada Allah, bukan menyombongkan jerih-payah, upaya yang telah kita lakukan. Maka kalau konsep ini sudah tertanam di dalam jiwa kita, ketika berhasil kita tidak lantas bersorak, mengepalkan tinju tinggi-tinggi sambil berteriak, yes! Tidak lupa diri, tetapi justru segera mengingat Allah mengucap syukur memuji karunia-Nya. Sebaliknya, ketika gagal kita tidak lantas menekuk muka, putus asa menganggap kegagalan sebagai akhir segalanya. Tetapi kita lantas segera muhasabah, introspeksi diri mencari penyebab kegagalan untuk perbaikan di masa datang, sambil mengingat bahwa semua cobaan datang dari Allah, dan di balik kesulitan terdapat hikmah, kebaikan.

Yakinlah, bahwa walau pun gagal, usaha yang telah kita lakukan akan dinilai sebagai suatu kebaikan di sisi Allah. Sebuah hadis menjelaskan kepada kita, dengan makna bahwa seandainya kita mempunyai pengetahuan yang sangat jelas bahwa esok akan datang hari kiamat, sedangkan di tangan kita terdapat sebutir biji kacang, kita dilarang untuk membuangnya. Tetapi kita disuruh untuk menanamnya walau pun kita tahu betul bahwa esok akan kiamat. Bukan hasil yang dilihat oleh Allah SWT, akan tetapi jerih payah kita menanam biji kacang itulah yang akan dicatat sebagai suatu kebaikan.

Sekali lagi, mari kita tanamkan konsep la haula wa la quwwata illa billah di dalam setiap bentuk usaha kita agar ketika berhasil kita tidak lantas sombong, lupa daratan, dan tidak terpuruk ketika gagal.

Wallahu a’lam bishowab.

Sumbawa, 19 Maret 2002.

Golongan Orang orang yang Sesat

Salah satu golongan orang yang termasuk celaka menurut hadis adalah orang yang selalu ingat akan kebaikan yang telah dilakukannya padahal belum tentu kebaikan tersebut diterima di sisi Allah. Potongan hadis ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tidak semua kebaikan yang kita lakukan, apa pun bentuk kebaikan, ibadah yang kita lakukan, tidak semuanya langsung diterima oleh Allah. Al Qur’an bahkan jelas-jelas menerangkan bahwa ada orang yang ketika melakukan sholat pun, bukan pahala yang didapatkannya, tetapi justru kecelakaan. Maka celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dalam sholatnya. Dan orang-orang yang riya (QS. Al Maun [107]: 5-6).

Demikian juga ibadah lain. Puasa misalnya. Kita temukan ada hadis yang menjelaskan bahwa berapa banyak orang yang puasanya hanya mendapatkan haus dan lapar saja. Untuk ibadah sholat kita bahkan menemukan di dalam hadis, kelak akan ada orang yang dilemparkan ke wajahnya sholat yang dilakukannya. Untuk sholat malam pun dikatakan bahwa ada orang yang hanya mendapatkan kantuk dan capai saja dari sholat malamnya. Sedekah yang dikeluarkan pun akan hilang pahalanya apabila diikuti dengan menyebut-nyebut sedekah tersebut dan menyakiti hati si penerima. Artinya orang yang bersedekah tersebut sum’ah, memperdengar-dengarkan dan bercerita kesana-kemari kepengen diakui sebagai orang dermawan dengan sedekahnya itu.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian... (QS. Al Baqarah [2]: 264).

Kalau kita perhatikan ternyata kesemua ibadah yang tertolak tersebut ternyata tidak disertai dengan keikhlasan, tidak karena Allah. Yang ingin kami katakan adalah alangkah ruginya kita sudah capek-capek berbuat kebaikan, beribadah tetapi lantaran tidak disertai dengan keikhlasan kita tidak mendapatkan apa-apa balasan di akherat.

Jadi ikhlas inilah yang seharusnya menjadi landasan semua kebaikan yang kita lakukan. Ikhlas artinya berbuat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan yang lainnya. Tidak mengingat-ingat kebaikan tersebut dan tidak berbangga dengannya. (Lihat QS 2:196; 4:146; 5:8; 16:41; 65:2). Bahkan orang yang ikhlas ini lah satu-satunya yang akan terbebas dari usaha syetan menyesatkan manusia.

Iblis berkata:"Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, keculi hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka". (QS Al Hijr. [15]: 39-40)

Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang selalu ikhlas beribadah kepada-Mu. Terimalah dari kami dan jangan sia-siakan amal ibadah kami. Ya Allah kami takut ibadah kebaikan kami tidak ada yang Engkau terima. Ikhlas ya Allah, berikan kami keikhlasan beribadah kepadaMu. Amien.

Sumbawa, 22 Maret 2002

Mencintai Ilmu

Kun ‘aliman, au muta’aliman, au mustami’an au muhibban, wa la takun khamisan. Jadilah orang yang berilmu, atau penuntut ilmu, pendengar ilmu atau pecinta ilmu dan jangan jadi orang yang kelima. (Al Hadis)

Orang kelima yang dimaksud dalam hadis ini adalah bukan orang berilmu, bukan penuntut ilmu, orang yang malas mendengarkan kajian yang membahas ilmu dan yang tidak suka terhadap ilmu. Dan kita dilarang menjadi orang kelima ini. Sungguh kerugianlah sebenarnya yang akan didapat oleh orang kelima ini.

Ilmu pengetahuan harus diambil sebanyak-banyaknya. Tak peduli siapa yang memegang dan dari mana asal si pemegang. Tak peduli di mana tempat ilmu tersebut, kita disuruh untuk mengambilnya. Rasulullah pernah mengatakan bahwa hikmah (ilmu) itu adalah milik orang Islam, ambillah di mana pun tempatnya. Bahkan, walau pun di negeri China. Kewajiban ini juga tidak dibatasi oleh usia. Titik mulainya kewajiban menuntut ilmu itu mulai dari buaian, sejak bayi lahir, sampai liang lahat, sampai si bayi tersebut menutup lembar hidupnya, dimasukkan ke liang lahat, tempat peristirahatannya yang terakhir.

Mengenai tidak perlunya memilah kepada siapa kita menuntut ilmu dapat kita lihat contoh pada Imam Syafii, salah seorang imam mazhab di dalam riwayat hidupnya menjelaskan bahwa salah seorang gurunya beragama Yahudi (sewaktu beliau tidak mengetahui ciri anjing baligh). Hal ini berarti bahwa memang yang terpenting adalah ilmunya.

Sebuah Hadis lain menjelaskan mengenai pentingnya ilmu mengatakan:
Barang siapa menginginkan (kebahagiaan, keberhasilan) dunia, maka itu didapatkan dengan ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, maka itu didapatkan dengan ilmu
Barang siapa menginginkan keduanya, maka itu pun dengan ilmu.

Jadi sangat rugilah bila kita membiarkan anak-anak kita, saudara-saudara kita, tetangga dan masyarakat di sekeliling kita atau bahkan diri kita sendiri tidak mendapatkan akses yang banyak untuk memperoleh ilmu ini. Masih banyak tetangga dan masyarakat di sekeliling kita yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan akses ilmu yang lebih luas. Ini merupakan ladang investasi untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Kalau bukan generasi sekarang yang mempersiapkan, maka bersiaplah karena generasi yang akan terbentuk adalah generasi keblinger, rapuh tanpa pegangan.

Sekali lagi mari kita mencintai ilmu, kita berikan kesempatan seluas-luasnya untuk meraih ilmu kepada diri kita dan orang lain di sekeliling kita.

Wallahua’lambishshowab.

Sumbawa, 28 Februari 2002

Gugurkan Segala Kesombongan dengan Sholat Berjamaah

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. (QS. Al Baqarah:43)

Salah satu hikmah sholat berjamaah adalah menggugurkan kesombongan rasa besar diri yang membesarkan semua predikat keduniaan, pangkat, jabatan, harta dan nama yang disandang dan menggantinya dengan penyerahan total terhadap kebesaran Ilahi. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa barisan sholat berjamaah, shaf-shaf sholat tersebut tidak pernah terbentuk berdasarkan golongan, jabatan, staf-non staf, dan lain-lain predikat keduniaan. Di mana pun sholat berjamaah didirikan, ia tidak didasari oleh semua predikat ini. Yang pegawai rendahan apabila kebetulan berdiri di sebelah seorang senior manajer, misalnya, dia harus tanpa sungkan-sungkan merapatkan barisan dengan bapak manajer tersebut. Demikian juga pejabat tinggi tidak boleh, misalnya karena alasan derajat menjadi turun gara-gara bersebelahan dengan bawahan, tidak boleh meminta perlakuan istimewa dengan mengkavling ruang sholat sekehendak hatinya dan tidak memperbolehkan orang lain merapatkan barisan dengannya. Kesombongan-kesombongan seperti inilah yang digugurkan oleh persatuan shaf sholat berjamaah. Ini yang pertama.

Alasan lain sehingga dikatakan sholat berjamaah tersebut dapat menggugurkan kesombongan adalah sifat gerakan sholat itu sendiri. Pada saat sujud, kepala tempat berdiamnya intelegensi yang sering dipertuhankan dan raut wajah elok yang sering dibanggakan karena kegagahan dan kecantikannya, saat sujud kepala dan wajah sumber kesombongan ini tersungkur lebih rendah dari jalan keluar kotoran yang menjijikkan. Inilah dua hal yang dapat memberikan pelajaran kepada kita, menyadarkan kita bahwa dengan sholat berjamaah kesombongan adalah sesuatu yang menggelikan. Semua predikat keduniaan, pangkat jabatan dan nama besar yang disandang tidaklah ada artinya di depan Allah.

Bagi orang yang ingin menghilangkan kesombongan diri, seharusnya banyak-banyak mendatangi shaf-shaf sholat berjamaah yang didirikan. Cuma sayangnya, sampai saat ini sering kali kita temukan tiang masjid berjumlah jauh lebih banyak dari jumlah orang yang menghadiri sholat berjamaah tersebut. Sepinya orang yang menghadiri sholat berjamaah ini bukan disebabkan ketidaktahuan akan hikmah-hikmah sholat berjamaah. Justru yang terjadi adalah biasanya kita berapologi, mencari pembenaran diri, mencari alasan-alasan yang kira-kira dapat kita jadikan hujah atas ketidakhadiran kita dalam jamaah sholat ini. Di samping itu, ada kenyataan bahwa kita lebih bisa profesional dalam urusan dunia tetapi untuk urusan ibadah seringkali kita tidak bisa profesional. Kita merasa cukup dengan mengandalkan orang lain. Kalau orang lain sudah mendirikan sholat berjamaah, maka cukuplah. Kira-kira demikian alasan sebagian di antara kita.

Atau jangan-jangan sepinya barisan sholat berjamaah di masjid-masjid gara-gara kita masih merasa bahwa status keduniaan kita menghalangi kita membangun jamaah dengan jamaah lain yang cuma pegawai rendahan. Atau justru kita merasa bahwa bokong kita masih kurang cantik untuk mengatasi wajah kita yang elok. Kalau ini yang menghalangi kita mendatangi jamaah sholat yang didirikan, marilah kita tertawakan diri atas kebodohan kita ini.

Terakhir, marilah kita biasakan ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ agar terbiasa hati kita menghapus semua kebesaran diri dan mengikrarkan bahwa yang besar hanyalah Allah. Allahu Akbar.

Perampuan-Labuapi, 29 Maret 2002


Golongan Orang-orang Bertakwa

Rasulullah SAW pernah memprediksikan bahwa kelak akan datang suatu masa di mana orang yang sabar memegang agama laksana orang yang menggenggam bara. Beliau juga pernah menyatakan bahwa agama Islam ini datang sebagai sesuatu yang asing dan kelak pun akan kembali dianggap asing. Sebagai orang yang selalu menekankan idealisme, kita tentu tidak ingin seperti orang yang menggenggam bara dan asing ini. Sebab kalau dipertahankan ia dapat membakar, tapi kalau dilepas - dan ini alternatif yang paling mudah - maka kita akan hidup tanpa panduan agama.

Banyak orang yang mengatakan bahwa masa yang dimaksud dalam prediksi Rasulullah SAW tersebut adalah masa sekarang. Seseorang mudah sekali melepaskan atribut, identitas keislamannya ketika aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam tersebut memberatkan. Banyak yang mengatakan bahwa sholat itu kan intinya ingat, eling, inna sholata lidzikri, sesungguhnya sholat itu untuk mengingat Allah, maka yang penting kan substansi dari sholat itu sendiri, elingnya itu. Jadi tidak perlu rukuk sujud. Ada juga orang yang mengatakan Islam itu kan menyerahkan diri, berserah diri pada ketentuan Ilahi. Maka cukuplah kita rela atas ketentuan-Nya dan karena itu kita akan selamat. Ada lagi contoh orang yang mengatakan yang perlu dijilbabkan justru adalah hati, perilaku hidup. Yang perlu dihijab adalah aurat maksiat. Maka apalah artinya berjilbab kalau perbuatan masih tidak mencerminkan perilaku Islami. Dan masih banyak lagi contoh yang semakna dengan pendapat ini, pendapat yang semakin memperkokoh prediksi Rasulullah SAW bahwa orang yang sabar dalam menjalankan perintah agama, seperti sholat, berislam dengan kaffah, menutup aurat dan lain-lain seperti orang yang menggenggam bara. Asing dan terasing.

Tapi benarkah masa seperti diprediksikan oleh Rasulullah tersebut adalah masa sekarang? Memang sekarang kita jumpai banyak orang yang berpendapat, berperilaku seperti beberapa contoh di atas. Banyak orang yang begitu mudah bangun malam, misalnya untuk bola, tapi begitu kesulitan untuk bangun malam untuk sholat tahajjud. Tapi ini kan kasustis. Tidak sedikit orang yang juga bangun malam untuk sholat tahajjud dan menonton piala dunia. Kita masih bisa berharap kepada pemuda-pemuda yang gandrung bola, tetapi juga adalah anggota aktif sholat berjamaah bahkan pemegang lisensi shaf terdepan. Kita masih berharap dengan orang-orang tua yang masih memberikan nasihat kebaikan kepada generasi yang lebih muda. Kita masih berharap kepada petinggi-petinggi yang kaya-raya tetapi juga adalah motor penggerak dakwah di lingkungannya. Kita masih bisa banyak berharap. Artinya prediksi Rasulullah SAW tersebut benar. Tetapi kita kan tidak perlu ikut arus kalau kemudian arus tersebut menyeret kepada keingkaran terhadap perintah-perintah Allah. Justru dengan kondisi seperti inilah, nilai kesabaran dalam menjalankan, dalam memegang ajaran Allah ini akan bernilai lebih.

Pertanyaannya sekarang, ikut yang manakah kita? Termasuk dalam golongan manakah kita? Apakah kita termasuk golongan orang yang erat mempertahankan agama, atau sebaliknya? Ini yang perlu, pernyataan sikap. Ikut Allah, maka kita akan selamat atau ikut syetan, mengkavling tempat di neraka? Tentu kita ingin termasuk dalam golongan orang-orang bertakwa yang teguh berpegang pada agama Allah.

Ya Allah jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang kokoh dalam menjalankan perintah-Mu. Amien.

Sumbawa, 2 April 2002

Tahu, Sengaja, Tidak Terpaksa

Orang yang melakukan kesalahan akan dikatakan melanggar hanya apabila orang tersebut masuk dalam kategori tahu, sengaja, dan tidak terpaksa. Apabila seseorang melanggar tetapi tidak tahu, misalnya orang yang baru masuk Islam, tidak tahu bahwa merokok membatalkan puasa, kemudian pada saat mulai ikut berpuasa ia merokok, maka tidaklah dia dihukumi melanggar. Hanya setelah diberitahu, hukum melanggar berlaku baginya.

Demikian juga seseorang yang melakukan kesalahan tetapi tidak disengaja, tidak juga dihukumi melanggar. Misalnya seseorang yang lupa atau tertidur. Waktu sholat subuh kan sebelum matahari terbit. Tetapi karena tidak sengaja seseorang ketiduran, maka tidak dihukumi salah kalau sholatnya lewat waktu. Hanya segera setelah bangun orang yang kebablasan tidur tersebut harus mengerjakan sholatnya. Tentu ini dikecualikan bagi orang yang ketiduran setelah mendengar sholat subuh. Orang yang mendengar seruan sholat subuh, tetapi justru menarik selimutnya kembali dan kebablasan tidur sampai kesiangan, orang ini jelas salah, melanggar. Dia patut dihukum.

Orang yang terpaksa atau dipaksa melakukan pelanggaran pun tidak dihukumi melanggar. Bahkan dalam keadaan darurat tidak apa-apa kita melanggar, asal di dalam hati, kita tetap berkeyakinan bahwa yang kita lakukan tersebut salah. Misalnya, memakan bangkai dalam keadaan terpaksa. Allah Berfirman dalam surat Al Baqarah:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah [2]: 173)

Atau contoh lain seorang sahabat di zaman rasulullah yang terpaksa menyembunyikan keimanannya karena takut jiwanya terancam. Sahabat ini dikatakan tidak melanggar. Boleh.

Hanya sekarang banyak kesalahan yang dilakukan, ingkar terhadap perintah Allah dan melanggar larangan justru bukan disebabkan ketidaktahuan. Bahkan pengetahuan banyak, tetapi tidak mau tahu. Banyak orang yang melalaikan sholat, misalnya, bukan karena tidak tahu bahwa sholat itu wajib. Hanya gara-gara alasan yang dibuat-buat bahkan mempermain-mainkan kuasa Allah dengan mengatakan “Ah Tuhan kan tahu kita sedang sibuk” orang-orang ini dengan tenang meninggalkan sholat. Naudzubillah. Atau contoh-contoh pelanggaran lain. Orang-orang seperti ini bukannya tidak tahu, tapi cenderung tidak mau tahu.

Sholat itu wajib, semua orang tahu. Bahkan hadis mengatakan sholat inilah ibadah yang pertama kali dihisab. Kalau baik sholat seseorang, maka baik pula ibadah yang lain. Tetapi kalau buruk ibadah sholatnya, buruk pula ibadah yang lain. Tetapi kenyataannya, alangkah sering kita melalaikannya. Bukan karena tidak tahu, bahkan disengaja dan tanpa keterpaksaan.

Ya Allah, tunjukkanlah kami yang benar itu benar dan kuatkan kami untuk melaksanakannya. Dan tunjukkan kami yang salah itu salah dan kuatkan kami untuk menghindarinya. Amien.

Sumbawa, 3 April 2002

Jilbab Keselamatan

Hai Nabi katakanlah kepada isteri isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33]:59) (lihat juga An Nur [24]: 31)

Perintah berpakaian yang menutup aurat bagi perempuan adalah tanggung jawab kita semua, laki laki dan perempuan. Bahkan kalau diperhatikan sebenarnya perintah berjilbab itu turun kepada laki laki. Yang diperintah itu laki laki. Laki laki diperintah untuk menyuruh istrinya, anak anaknya, istri istri kaum muslimin untuk mengulurkan jilbab sampai seluruh tubuhnya. Perumpamaannya adalah seperti seorang camat yang menyuruh seorang kepala desa, "Hai kepala desa, perintahkan masyarakatmu membuat pagar di sekeliling rumah mereka." Apabila masyarakat tidak memagar rumahnya, yang dimintai pertanggungjawaban, yang dimarahi oleh bapak camat tentulah kepala desa. Dan sebagai warga masyarakat yang baik, tentu kita tidak ingin kepala desa kita dimarahi oleh camat. Dan kepala desa yang baik tentu tidak ingin mendapatkan teguran keras dari camat gara gara masyarakatnya tidak memagar rumahnya. Karena itu ia akan selalu menekankan tentang perintah memagar halaman ini sampai semua rumah warganya berpagar. Kalau masyarakat sayang kepada kepala desanya, agar jangan dihukum oleh camat, satu satunya cara adalah masyarakat memagar sekeliling rumahnya. Demikian kira kira logika perintah menutup aurat ini. Perintah ini turun kepada laki laki agar menyuruh istri istrinya, anak anaknya, istri istri orang beriman mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Kalau seorang perempuan sayang kepada suaminya (kalau sudah menikah) atau sayang kepada bapaknya, agar jangan dihukum gara gara melalaikan perintah menutup aurat ini, satu satunya cara adalah tutuplah aurat. Ini sebenarnya untuk membantu suami atau bapak agar jangan mendapatkan pertanyaan, mendapatkan hukuman di akhirat kelak.

Dari tinjauan psikologis pun, perintah menutup mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh ini pun sangat sesuai. Kalau direnungkan, sebenarnya lelaki itu, secara alamiah bersikap lebih agresif dan imajinatif. Maaf maaf saja ini pengakuan jujur dari kaum laki laki. Dengan melihat perempuan secara sepintas saja, seorang laki laki akan bisa menampilkan gambar lengkap perempuan tersebut sesuai dengan imajinasinya. Maaf sekali lagi, silakan koreksi terutama dari laki laki, kalau perempuan lewat di depan laki laki walaupun perempuan tersebut berpakaian lengkap, laki laki itu bisa menampilkan gambarannya dalam keadaan, maaf, telanjang! Inilah laki laki. Makhluk yang sangat menderita dengan dirinya karena sifatnya ini, makhluk yang katanya perkasa tetapi sangat rapuh terutama oleh gangguan imajinasi imajinasinya. Makanya panduan ketat diberikan kepada laki laki. Apabila bertemu dengan perempuan segeralah tundukkan pandangan. Apabila sudah siap, bagi yang belum menikah segeralah menikah. Bila belum mampu, puasalah. Ini sebagian panduan kepada laki laki. Berat. Jadi, perintah menutup aurat itu juga sekalian membantu laki laki agar jangan terlalu sering muncul sifat liarnya. Karena dengan pesonanya, perempuan dapat menjatuhkan laki laki hanya dari sudut kerling matanya.

Sekali lagi, ini tanggung jawab kita semua. Kita saling bantu. Perempuan membantu laki laki. Perempuan membantu dirinya sendiri agar terhindar dari sifat ‘liarnya’ laki laki atau dalam ungkapan ayat di atas, agar mereka tidak diganggu.

Wallahua’lam

Semoga Allah SWT selalu memberikan kekuatan kepada kita untuk melihat yang benar itu benar dan dikuatkan untuk melaksanakannya. Dan semoga kita dapat melihat yang salah itu salah, dan kita kuat menjauhinya.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Sumbawa, 4 April 2002


Ibda’ bi nafsik, mulailah dari diri sendiri

Melihat kondisi keumatan kita dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa sekarang ini adalah masa yang sangat kacau. Inilah titik puncak dari kerusakan umat. Menurut mereka, sekaranglah zaman seperti yang sering disebut-sebut sebagai zaman edan. Orang sudah demikian tidak peduli dengan nilai-nilai moral. Ini tampak pada statistik kejahatan yang justru menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Derajat kemanusiaan pun sudah tidak dihormati lagi. Orang dengan demikian enaknya merampok kemudian membunuh pemiliknya, bahkan anak kecil anggota keluarga pemilik harta tersebut. Sesuatu yang sangat biadab pun, yang tampaknya tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang terdahlulu, dilakukan oleh manusia sekarang. Nilai-nilai moral sudah menjadi sesuatu yang tidak ada maknanya lagi. Orang sudah tanpa malu-malu korupsi, menggelapkan harta yang bukan haknya kemudian, setelah lama baru terbongkar, ia dengan enaknya pula mengembalikannya juga tanpa rasa malu-malu. Pokoknya sekarang lah zaman itu. Zaman edan, zaman yang penuh kerusakan.

Kita pun tampaknya mesti setuju dengan pendapat ini, bahwa sekarang zaman sudah sedemikian rusak. Tentunya untuk mengambil kesimpulan seperti ini kita mesti mendasarkan pendapat pada suatu standar yang baku, yang kuat. Tidak lain yang mesti kita jadikan standar adalah Al Qur’an. Kita katakan zaman sudah rusak karena banyak kejadian yang berlaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Qur’ani. Contoh kecil, orang sudah demikian tanpa malu-malu meninggalkan perintah sholat misalnya, dan orang yang di dekatnya tidak menegur, tidak menasihati gara-gara beranggapan bahwa itu kan hak pribadi. Jelas ini bertentangan dengan wa tawashau bil haq, saling nasihat-menasihati dalam kebaikan. Atau banyak orang yang berpidato, ke sana kemari berbicara kebaikan, mengusung nilai-nilai moral sementara dia sendiri adalah pelanggar nilai-nilai moral. Jelas ini bertentangan dengan nilai Qur’ani yang mengatakan bahwa Allah sangat besar murkanya terhadap orang yang hanya berkata sesuatu yang tidak dikerjakannya. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. As Shaf [61]:3). Dan banyak lagi hal yang berlaku yang bertentangan dengan nilai Qur’ani. Inilah yang bisa mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa zaman sekarang sudah rusak.

Akan tetapi tidak berhenti di situ saja. Sebagai umat yang hanif, yang selalu condong ke kebaikan dan perbaikan, kita tidak sepantasnya hanya menjadi penonton, menyesali keadaan sekarang yang rusak ini. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk menjadi pembaharu, agen perbaikan, orang yang saleh dan muslih, orang yang baik dan mengajak ke arah kebaikan. Bahkan tidak kurang empat puluh kali Allah SWT mengulang tentang kewajiban berbuat baik ini. Di antaranya, ‘berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash [28]:77).’ Dan kewajiban berbuat baik ini, melakukan perbuatan ke arah perbaikan ini merupakan kewajiban individu yang seperti judul renungan kita hari ini, mesti kita mulai dari diri kita sendiri.

Mestinya sekarang kita bertanya kepada diri sendiri. apakah kebaikan yang sudah saya lakukan hari ini? Apakah usaha saya untuk memperbaiki kondisi ini? Adakah perilaku hidup saya termasuk dalam kategori kerusakan? Kalau ada, saya mesti menghentikannya agar saya tidak menjadi penyumbang terhadap kerusakan yang lebih parah. Inilah beberapa pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada diri sendiri.

Marilah kita awali hari kita dengan sesuatu yang baik.
Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 7 April 2002

Tumbuh Suburnya Generasi Minimalis

Barang siapa yang akhir kalimatnya Lailaha illallah, maka ia akan masuk surga (Al Hadis).

Kalau setiap orang ditanya tentang keinginan masuk surga, sudah pasti tidak ada yang mengingkari. Setiap orang, terlepas dari bagaimana pun tingkat kepatuhannya terhadap perintah-perintah Ilahi, akan cenderung menginginkan surga baik untuk dirinya sendiri, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Tentunya tidak terkecuali kita. Kita pun sangat menginginkan kehidupan surga dengan segala kenikmatan-kenikmatannya.

Akan tetapi tidak sedikit orang-orang yang menginginkan surga tersebut, atau bahkan mungkin kita sendiri, kurang tepat dalam menafsirkan hadis-hadis. Misalnya mereka sering merasa cukup dengan hadis yang kami kutip di atas sebagai landasan untuk dapat masuk surga. Dengan telah mengucap kalimat Lailaha illallah saja banyak orang beranggapan telah berhak atas jatah di surga. Mereka beralasan bahwa ada hadis yang mengatakan kalimat tauhid inilah kunci pembuka pintu-pintu surga. Dan memang benar ada hadis yang demikian. Ada hadis yang menegaskan bahwa kalimat Laillaha illallah ini merupakan kunci surga. Hanya kadang mereka lupa bahwa sebuah kunci pasti memiliki anak gigi. Kalimat Laillaha illallah tanpa diikuti bentuk ketaatan lain, seperti kewajiban rukun Islam atau ibadah lain akan laksana kunci tanpa gigi.

Itu contoh kecil. Contoh lain misalnya dalam mencari pahala dari tadarrus, membaca dan mengkaji Al Qur’an. Mereka merasa cukup dengan hadis yang maknanya menyatakan bahwa membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas sama dengan membaca seluruh Al Qur’an. Jadilah mereka penghapal dan pembaca setia tiga surat pendek ini. Ibadah sholat Jum’at secara fiqih, walau pun ada pertentangan, sudah memadai kalau dapat mengikuti sholatnya. Maka banyaklah orang yang ikut dalam kelompok, jamaah sholat Jum’at yang datang terakhir, yang hanya dapat sholatnya saja. Dan masih banyak contoh lain yang bermuara pada satu keyakinan, agama itu kan mudah, ambil saja yang gampang-gampang. Nah!

Adanya kelompok minimalis seperti ini sebenarnya cukup menyedihkan. Ada kecenderungan orang-orang seperti ini apabila berhadapan dengan prestasi keduniaan, merekalah yang paling melesat. Tetapi ketika berhadapan dengan perintah ibadah, mereka mengambil posisi sudah memadai ini. Mereka menekankan tentang profesionalisme kerja, tetapi sering lupa dengan profesionalisme ibadah. Padahal untuk urusan ibadah Allah juga menegaskan tentang perlunya berkompetisi.

Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah [2]:148).

Ups, dari tadi saya memakai kata ganti mereka. Tidakkah saya termasuk dalam golongan minimalis ini? Ini yang mestinya kita tanyakan pada diri sendiri.
Ya Allah, berikan kami rahmat-Mu karena tanpa rahmat-Mu tiadalah kami dapat masuk ke surga-Mu. Dan jadikan kami agar dapat lepas dari golongan minimalis ini, golongan yang meminta jatah surga dengan mengandalkan ibadah yang sedikit. Amien.

Sumbawa, 9 April 2002

Kalau begitu bunuh saja anakmu!

... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar Ra’d 13:11)

Kalau begitu bunuh saja anakmu! Nasihat ini kami berikan kepada seorang ayah yang bersikeras tidak mau berusaha mengobati anaknya yang menderita tumor [atau kanker otak?] gara-gara mendengarkan ‘nasihat-nasihat’ menyesatkan dari tetangga-tetangganya. Awalnya, anaknya yang baru berusia sekitar sepuluh tahun divonis oleh dokter mengidap kanker otak. Oleh dokter ia disarankan untuk membawa anaknya untuk berobat, dioperasi di rumah sakit yang memiliki peralatan yang lebih lengkap di Bali. Biaya yang harus diusahakannya hanyalah untuk biaya makan dan tempat tinggal orang yang menunggu proses operasi pengobatan anak ini. Sementara untuk biaya rumah sakit, biaya operasi dan pengobatan lain sudah ditanggung dengan program JPS oleh pemerintah.

Alasan yang dipakai oleh si bapak adalah pasrah, tawakkal terhadap ketentuan Allah. Beliau takut karena mendengar cerita bahwa operasi otak yang dilakukan jarang berhasil, lebih sering berakhir dengan kematian. Dari beberapa operasi kanker, hanya sedikit yang berhasil. Usaha pengobatan dengan operasi akan sia-sia. Demikian kira-kira alasan si bapak ini sehingga menolak sewaktu disarankan untuk membawa anaknya ke Bali. Menurut si bapak, anaknya lebih baik diobati di sini saja. Kalau sembuh ya syukur, kalau tidak, ya pasrah, tawakkal terhadap ketentuan Ilahi. Astaghfirullah.

Logika kepasrahan seperti ini jelas bertentangan dengan kewajiban ikhtiar yang dibebankan kepada makhluk. Konsep tawakkal yang diajarkan oleh Rasulullah adalah, ikat dulu kudamu, baru boleh bertawakkal. Apabila kemudian setelah diikat, kuda tersebut lari, atau hilang diambil orang, barulah boleh dipasangkan tawakkal ini. Sebelum ada usaha, belum boleh kita mengklaim diri telah bertawakkal. Konsep ini juga berlaku kepada si bapak yang kami ceritakan di atas atau kepada kita semua. Seharusnya kita berusaha semaksimal mungkin dulu baru menetapkan tawakkal. Anak ini pun seharusnya dioperasi dulu. Memang kemungkinan sembuh si anak ini kecil. Tetapi kalau pun dibiarkan tanpa mendapatkan pengobatan, Insya Allah ia juga akan meninggal bahkan secara perlahan-lahan dengan menanggung sakit berkepanjangan. Yang berbeda adalah tanggung jawab terhadap kewajiban berusaha yang ditetapkan kepada kita.

Yang ingin kami katakan adalah berapa sering kita mengklaim diri dengan predikat-predikat ketaqwaan, tawakkal salah satunya, padahal kita belum termasuk orang yang seperti pengakuan tersebut. Kita mengklaim diri bertaqwa, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan di akhirat padahal amal ibadah kita masih minimal bahkan kadang salah penempatan.

Ya Allah perlihatkan kepada kami yang benar itu benar, dan kuatkan kami untuk melaksanakannya. Dan perlihatkan kepada kami yang salah itu salah, dan kuatkan kami untuk menjauhinya. Amien.
Terakhir, beberapa waktu yang lalu kami mendapat kabar bahwa si anak ini telah dipanggil oleh Allah SWT. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Dan si bapak sampai beberapa hari kemudian demikian menyesali upayanya yang belum maksimal untuk pengobatan anaknya.

Wallahua’lam bishowab
Sumbawa, 9 April 2002

Nikmat yang melenakan

Dua buah nikmat yang sering diabaikan menurut Rasulullah SAW adalah nikmat sehat dan waktu luang. Alangkah seringnya kita menyadari betapa nikmatnya sehat justru setelah kita tidak dapat melakukan apa-apa, ketika kita terbaring di atas tempat tidur, sakit. Justru seringkali pada saat kita sakit lah kita banyak menyebut nama Allah, istighfar bahkan membuat janji-janji perbaikan diri, janji untuk meningkatkan kualitas ibadah. Kita banyak membuat rencana-rencana perbaikan yang akan kita lakukan kalau diberikan kesehatan kembali. Dan yang lebih mengagumkan, pada saat sakit, kesadaran begitu tinggi bahwa tak ada yang besar, selain Allah. Tetapi lucunya setelah Allah mengembalikan nikmat sehat tersebut, tidak sedikit juga orang yang melupakan janji-janji perbaikan diri yang telah dibuatnya ketika sakit tadi. Artinya nikmat sehat kembali melenakan dia untuk menepati janji hidupnya. Naudzubillah.

Nikmat kedua yang juga tidak kalah seringnya diabaikan adalah waktu luang. Seperti nikmat sehat, nikmat waktu luang ini jarang kali mendapatkan perlakuan yang sesuai. Tidak sedikit di antara kita begitu yakin dengan melimpahnya waktu luang yang dianugerahkan ini sampai berani mengeluarkan pernyataan, ah kan masih ada hari esok! Di satu sisi pernyataan ini menunjukkan optimisme, khusnudzon, baik sangka terhadap akan datangnya kembali nikmat Allah. Akan tetapi di sisi lain, ini juga dapat berarti kita mengulur-ulur kesempatan, terutama kesempatan untuk melakukan kerja yang mengarah ke perbaikan dalam segala hal, baik perbaikan kualitas kehidupan apalagi perbaikan kualitas ibadah. Allah SWT menegaskan bahwa hidup dan kehidupan umat Muslim seharusnya selalu mengikuti jalur untuk ‘berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. (QS. Al Baqarah [2]:148). Kedua nikmat ini seharusnya dapat mengantarkan kita ikut dalam perlombaan kehidupan ini agar kita lebih bisa memberi makna terhadap kehidupan yang kita jalani. Bukankah menjadi pemenang, apapun bentuk kemenangan adalah sesuatu yang membanggakan? Nah fasilitas penunjang berupa sehat dan waktu luang ini seharusnya kita gunakan dengan maksimal.

Apabila diingat kembali sebenarnya kedua nikmat ini juga termasuk dalam empat pertanyaan akhirat yang mesti kita pertanggungjawabkan. Inilah pertanyaan pada hari ketika ‘Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yasin [36]:65).

Nah sekarang sebelum kita sampai kepada hari untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan, ada baiknya kita tanya diri kita terlebih dahulu, di mana kita habiskan nikmat sehat dan waktu luang yang Allah berikan. Adakah nikmat ini kita hambur-hamburkan di gardu-gardu ronda dengan papan karambol, gelas kopi, puntung rokok dan kulit kacang menjadi kajian? Ataukah di depan televisi mengagumi mimpi-mimpi?

Terakhir, coba tanya diri sendiri, adakah satu kebaikan kecil, satu saja niat suci yang, karena sesuatu dan lain hal, belum dapat anda laksanakan. Kalau ada marilah sekarang kita laksanakan niat suci tersebut mumpung ada kesempatan dan kita masih diberikan nikmat sehat.

Billahittaufiq Wal Hidayah

Sumbawa, 11 April 2002

Doa, Permakluman Ilahi Pengikat Persaudaraan

Seandainya orang yang paling kaya di lingkungan kita mengeluarkan pengumuman bahwa dia akan memenuhi semua kebutuhan kita, memberikan apapun yang kita minta, kira-kira apa yang kita atau orang-orang di sekitar kita akan lakukan? Tentunya beramai-ramai orang akan datang kepadanya meminta pemenuhan kebutuhannya, kan? Atau seandainya CEO di perusahaan ini, pemegang jabatan dan pengambil keputusan tertinggi mengumumkan akan memberikan bonus dan kenaikan grade seberapa pun yang kita minta, pastilah akan berbondong-bondong karyawan mendatanginya dan mengajukan permintaan kenaikan grade dan gaji, bonus dan fasilitas serta tunjangan-tunjangan lain. Ini pastilah merupakan kecenderungan yang akan dilakukan oleh sebagian besar orang-orang di lingkungan kita yang mendengar pengumuman ini.

Sebagian orang yang lain yang lebih berhati-hati akan berusaha memastikan kebenaran isi pengumuman ini. Orang-orang ini akan berusaha mencari klarifikasi, bertanya sana-sini tentang kebenaran isi pengumuman tersebut dan menguji keaslian lembaran beritanya. Lembaran pengumuman yang memuat berita ini akan dibawanya pulang, dipelajarinya dengan teliti. Jangan-jangan pengumuman ini dimuat sebagai selebaran gelap, dan lain-lain pertimbangan sebelum mereka memutuskan apakah akan ikut rombongan orang-orang yang mendatangi shahibul hikayat, yang punya berita, ataukah memutuskan bahwa pengumuman itu hanya sekedar spam. Apabila ternyata apa yang menjadi keraguannya tidak terbukti, tentunya ia akan segera ikut keluar rumah menuju ke tempat orang yang mengeluarkan pengumuman tersebut untuk juga meminta jatah.

Sebagian kecil ada juga orang yang acuh tak acuh, tidak mau ambil peduli ketika mendengar adanya pengumuman semacam ini. Kesombongan telah menyesatkan mereka, rasa besar diri telah menahan mereka untuk sekedar membenarkan pengumuman itu. Mereka ada yang merasa cukup dengan kedudukannya yang sekarang, ada yang menafikan pengumuman ini dan yang lebih parah, ada yang merasa lebih kaya dari pemberi pengumuman tersebut.

Golongan yang paling menyedihkan adalah sebagian kecil orang yang justru tidak pernah mendengar, tidak pernah tahu tentang adanya pengumuman semacam ini. Hal ini bisa disebabkan oleh kelalaiannya, kejahilan, kebodohan mereka.

Nah, di dalam lembaran kitab yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (QS. Al Baqarah [2]:2), zat yang Maha Kaya, Maha Kuasa dan Maha Pemurah, Penguasa seluruh alam telah mengeluarkan permakluman bahwa “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah [2]:186).

Sekarang ini kondisi keumatan kita sedang dalam ujian yang sangat berat. Setiap hari kita disuguhi berita yang menyesakkan dada keislaman kita. Di seluruh belahan dunia, umat Islam sedang dicoba dengan cobaan yang sangat, sangat berat. Selain mengusahakan bantuan harta dan diri, bentuk solidaritas yang dapat kita berikan adalah doa. Mari kita berdoa agar Islam diberikan kemenangan, kejayaan hingga akhir zaman. Ingatlah saudara-saudara kita yang sedang dizalimi di dalam doa-doa akhir sholat kita.

Terakhir, mintalah apa saja kepada Allah, dan yakinlah pasti akan diijabah, dikabulkan oleh-Nya asal dengan syarat hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Allah dan hendaklah mereka beriman kepada-Nya. Syaratnya jauhkan makanan, pakaian, perbuatan dari yang haram. Itu saja.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 12 April, 2002


Khusyu’

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS. Al Baqarah [2]:45)

Kalau kita perhatikan ayat di atas, kita dapat menarik semacam kesimpulan bahwa yang dapat mengambil manfaat dari sholat atau orang yang dapat menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya hanyalah orang-orang yang khusyu’. Atau dengan kata lain, orang-orang yang khusyu’ sajalah yang dapat menjadikan sholatnya sebagai pencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar. Inna sholata tanha ‘anil fakhsai wal munkar, Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar (QS. Al Ankabut [29]:45). Dan seperti pernyataan ayat di atas, khusyu' ini sungguh berat untuk dapat dicapai.

Kalau dihitung-hitung, sekarang ini diakui atau tidak banyak orang yang ‘gemar’ melanggar larangan Allah SWT, baik besar atau kecil, yang sebenarnya juga adalah orang-orang yang rajin mendatangi jamaah sholat. Artinya yang melanggar tersebut bukannya tidak mengerjakan sholat. Hanya saja sholatnya tidak lagi dapat mencegahnya dari perbuatan melanggar tersebut. Kita tidaklah akan terlalu heran apabila orang yang melanggar larangan ini tidak pernah sholat. Akan tetapi kita sering mengurut dada karena yang melakukan pelanggaran tersebut adalah juga orang-orang yang rajin sholat bahkan sering tampil dengan pakaian seperti habis mengerjakan sholat, pakai peci ke sana ke mari. Tapi ya itu tadi, walaupun mereka sholat, mereka juga ‘gemar’ melanggar larangan Allah.

Kembali ke ayat di atas, ternyata inilah jawaban dari sholat yang tidak bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Rangkaian sholat yang dikerjakan hanyalah ritual monoton tanpa ruh. Sholat yang dikerjakan tidak pernah mampu menghadirkan kuasa Allah bahwa Allah Maha Melihat, tidak meyakini bahwa Dia selalu mengawasi semua aktifitas kita. Padahal terdapat pedoman jelas dalam beribadah yaitu ‘beribadahlah seolah-olah engkau melihat Allah, tetapi kalau tidak bisa yakinlah bahwa Allah selalu melihatmu’.

Nah pertanyaan sekarang, bagaimana yang dimaksud sholat yang khusyu’ tersebut? Tentunya kita tidak ingin termasuk dalam pernyataan ayat di atas yang menegaskan sulitnya mencapai predikat tersebut. Sebagai ‘abid, pelaku ibadah yang baik, tentunya kita ingin nilai ibadah sholat kita lebih meningkat ke posisi yang dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Jawaban untuk mencapai khusyu’ ini dapat kita temukan dalam lanjutan ayat di atas. Orang yang khusyu’ dalam sholatnya adalah orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (QS. Al Baqarah [2]:46).

Implikasi dari keyakinan bahwa kita akan bertemu dan akan kembali kepada Allah adalah kita akan selalu waspada jangan sampai kita melakukan pelanggaran-pelanggaran. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa kita akan bertemu Tuhan untuk mempertanggungjawab-kan semua perbuatan kita.

Apabila keyakinan ini sudah tertanam, Insya Allah, sholat kita akan selalu didirikan karena Allah bukan karena selain Allah. Semua perbuatan yang kita lakukan, di dalam atau di luar sholat akan mampu memunculkan pertanyaan dalam diri kita, apa yang harus saya katakan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan saya ini di hadapan Allah, zat yang Maha Mengetahui.

Memang keyakinan seperti ini, khusyu’ ini sungguh berat. Tetapi sesuatu yang berat tidak akan mungkin bisa kita lakukan apabila kita tidak pernah mencoba. Mari kita tanamkan keyakinan ini, keyakinan bahwa kita akan bertemu Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Perampuan Labuapi, 23 April 2002

Tamak

Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, seloba-loba manusia kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkan daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. 2:96).

Ayat ini sebenarnya menceritakan kaum terdahulu, kaum Nabi Musa as yang sedemikian ingkar kepada Allah dengan mengingkari ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Musa. Akan tetapi karena Al Qur’an juga menegaskan bahwa cerita-cerita kaum terdahulu hendaknya dijadikan ibrah, pelajaran untuk kehidupan sekarang, maka kita juga perlu memperhati-kan ayat ini untuk dapat mengambil pelajaran.

Kalau kita renungkan, memang tidak sedikit di antara kita yang begitu tepat terkena sindiran ayat ini. Tidak sedikit kita yang sudah sedemikian tamak, serakah terhadap perolehan kita di kehidupan ini. Apa yang sudah kita raih, ingin kita tambah dengan rakus. Makanya tidak heran sekarang ini kita sering mengurut dada mendengar ada orang yang mampu korupsi sejumlah uang yang kalau dikumpulkan ia sendiri bisa tenggelam di tengah uang yang dikorupsinya tersebut saking banyaknya. Ini semua berakar pada satu sifat, tamak. Ingkar nikmat sudah begitu berurat-berakar dalam dirinya sehingga apa saja nikmat yang sudah dicapainya dirasa masih kurang. Untuk orang-orang semacam ini tepat sekali kalimat Rasulullah bahwa yang dapat menghentikan mereka hanyalah apabila tanah sudah menyumpal mulut mereka, artinya apabila orang tersebut sudah membusuk di dalam liang kubur dan tanah memenuhi rongga-rongga tubuhnya!

Orang-orang yang tamak adalah orang-orang yang hartanya masuk ke hati, melingkupinya dalam hitungan rugi-laba. Ketika dia berpikir bahwa hartanya dapat mengekalkannya di kehidupan ini maka mulailah dia krasak-krusuk mengumpulkan harta dengan segala cara tanpa memperhatikan batasan halal-haram. Dan ketika kewajiban datang kepadanya untuk berzakat atau bersedekah, menginfakkan sebagian hartanya, ia mulai mengambil sikap preventif terhadap harta tersebut, jangan sampai harta saya berkurang bahkan sepeserpun! Kalau pun kemudian dia mengeluarkan sebagian kecil dari hartanya juga, yang terpikir kemudian adalah seberapa besar yang akan diperolehnya kembali. Inilah awal mula praktek suap, sogok-menyogok. Ia mengeluarkan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Inilah orang-orang kaya yang ketika berpakaian menutupi hatinya, bukan menutupi auratnya. Makanya ketika berpakaian auratnya berkibar dan pakaiannya hanyalah untuk mempertegas kesombongannya!

Orang-orang yang tamaklah yang ketika sebagian kecil saja hartanya lepas dari genggamannya, ia mengutuk habis-habisan. Dan ketika mencari harta tidak peduli dengan kutukan yang mengarah kepadanya. Koruptor, itu contoh besar. Contoh kecil, di sekeliling kita atau bahkan kita sendiri sering kali memakaikan sandal ke hati kita, bukan ke kaki kita. Ketika pada suatu acara kondangan, misalnya, kebetulan sandal kita hilang atau tertukar dengan sandal yang kurang bagus, dua hari dua malam kita merutuki shohibul bait, si empunya acara dan berjanji dalam hati tidak akan mendatangi acara semacam itu lagi gara-gara takut sandal akan hilang lagi. Inilah sifat menggelikan orang-orang tamak, yang kaya tetapi memakaikan sandal pada hati.

Potongan berikutnya dari ayat di atas menyatakan bahwa orang-orang tamak menginginkan kehidupan yang panjang, seribu tahun yang tentunya bergelimang kenikmatan. Orang-orang ini berpikir hartanya haruslah dapat menghidupi dirinya sampai anak-cucunya tujuh turunan. Mereka lupa yang dimaksud dengan orang yang beruntung dalam kehidupan ini adalah orang yang paling banyak memberikan makna terhadap kehidupannya, baik bagi dirinya, keluarganya, dan terutama masyarakatnya, yaitu orang-orang di sekelilingnya.

Kayalah di dunia ini sekaya-kayanya. Tapi cukuplah kekayaan itu sebatas tangan jangan sampai masuk ke hati. Maka ketika ada kewajiban datang untuk menginfakkan sebagian harta tersebut, kita akan dengan ikhlas melepaskannya. Semoga harta kita dapat mengantarkan ke kebahagiaan yang lebih besar di akhirat kelak. Amien.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Perampuan Labuapi, 14 April 2002




Memperhatikan Tanda-Tanda Kebesaran Ilahi Pada Diri Sendiri

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan (QS. Adz-Dzariyat [51]:20-21)

Imam Al Ghazali pernah menganjurkan kita untuk sekedar memperhatikan penciptaan tangan beserta fungsinya untuk dapat memahami betapa Maha Kuasa-Nya Allah SWT.

Mari kita perhatikan. Dengan konstruksi yang sangat mengagumkan, Allah SWT menjadikan tangan kita yang cuma sepasang ini sangat multi-fungsi. Pada saat dikembangkan, telapak tangan ini bisa menjadi garu, sekop, rapatkan sedikit bisa menjadi canting untuk mengambil air. Terus coba satukan. Dengan posisi rapat dan disatukan kedua tangan ini bisa menjadi gayung. Pada saat dikepalkan, ia bisa menjadi palu, pemukul. Lepaskan, buka dan rapatkan. Pernah kepanasan dan tidak menemukan sesuatu pun untuk dijadikan kipas? Coba goyangkan tangan dengan posisi ini, Insya Allah kipas darurat bisa menimbulkan angin. Lumayan. Itu dalam keadaan bersama-sama, fungsi tangan dalam kesatuan. Dalam keadaan sendiri-sendiri pun jari-jari ini, Subhanallah. Pernah harus memaku di tembok dengan paku payung? Repot cari palu kecil? Coba tekan dengan menggunakan ibu jari, Insya Allah tertanam juga paku payung itu. Iseng-iseng ingin membersihkan kotoran di dalam hidung? Jangan pakai ibu jari. Itu tugas telunjuk. Dan seterus, dan seterusnya. Silakan cari sendiri fungsi masing-masing jari.

Tetapi coba bayangkan sekarang Allah SWT menciptakan tangan kita tidak beruas, tidak berbuku dan menyatu antara ibu jari dengan jari-jari yang lain. Fungsinya mungkin akan seperti tombak, karena kaku dan menyatu. Dengan posisi seperti ini, bagaimana anda akan mengambil fungsi jari kelingking yang biasa masuk ke lobang telinga ketika telinga kita gatal? Atau coba korek hidung anda dengan posisi tangan seperti ini. Tidak akan bisa, kan? Ini semua menunjukkan kepada kita, bahwa demikian sempurnanya penciptaan Allah yang bernama manusia ini sehingga untuk melihat kekuasaan-Nya, cukuplah kita memperhatikan diri kita sendiri. Subhanallah.

Demikian maha kuasa-Nya Allah SWT, sehingga untuk menunjukkan kebesaran-Nya kita cukup melihat diri kita. ‘Ala kulli hal, Allah sungguh maha kuasa sehingga ciptaan-Nya yang bernama manusia ini – dan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, benar-benar dalam penciptaan yang sempurna. Hanya kita saja yang sering lalai, jarang memperhatikan diri kita sendiri. Mengenai orang-orang yang sering lalai seperti ini di dalam ayat lain Allah SWT kemudian menegaskan: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, (QS. 95:4-5)

Akibat dari kelalaian memperhatikan diri sendiri, orang akan cenderung lalai untuk mensyukuri anugerah ciptaan yang sempurna ini. Orang-orang yang lalai bersyukur, kemudian tidak mau bersujud, tidak tunduk patuh beribadah kepada-Nya. Inilah orang-orang yang ingkar, yang sudah mendapatkan jatah dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya. Naudzubillah.
Mari kita banyak-banyak memperhatikan ciptaan Ilahi diri kita dan alam ini untuk meningkatkan syukur kita, meningkatkan ketundukan, kepatuhan kita beribadah kepada-Nya.

Billahittaufiq Wal Hidayah

Perampuan Labuapi, 3 Mei 2002

Memperkuat Persaksian

Dalam sebuah persidangan, saksi memegang peranan penting dalam memutuskan sebuah perkara. Keberadaan saksi diakui atau tidak dapat memperkuat sebuah posisi masing-masing pihak. Oleh karena itu pihak pembela maupun pihak penuntut berlomba-lomba menghadirkan saksi-saksi yang kuat untuk dapat membenarkan argumen mereka.

Selain saksi dengan persaksian yang kuat, pembenaran sebuah argumen dalam persidangan tersebut juga ditentukan oleh seberapa kuat bukti-bukti yang diajukan dapat mendukung persaksian yang diberikan oleh saksi. Dengan kata lain, keberadaan bukti memegang peranan yang juga penting, kalau pun tidak dapat dikatakan lebih penting, dalam penegasan posisi dalam sebuah persidangan. Tentunya bukti-bukti yang lebih dapat mendukung posisi adalah bukti-bukti yang lebih kuat yang kalau bisa lebih banyak. Semakin banyak dan semakin kuat bukti yang diajukan oleh salah satu pihak, maka posisinya pun akan semakin kuat.

Hal ini juga berlaku dalam persaksian yang kita ajukan. Untuk diingat, seorang Muslim minimal mengajukan sembilan kali persaksian dalam sehari; satu hari di pagi hari, dua kali di tengah hari, dua kali menjelang jam empat sore, dua kali pada petang hari dan dua kali sebagai penutup aktivitas keseharian kita. Ya, dalam sehari kita orang Islam minimal sembilan kali menjadi saksi dan mengajukan sembilan kali persaksian dalam setiap tahiyat dalam sholat kita yang mempersaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah.

Seperti dalam analogi persidangan di atas, tentunya kita sebagai saksi atau persaksian yang kita ajukan ditentukan oleh seberapa kuat bukti-bukti dapat kita ajukan untuk mendukung persaksian kita.

Dalam sehari sembilan kali kita mempersaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Apakah dalam sehari kita juga dapat konsisten dalam persaksian ini? Apakah kita dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat? Apakah dalam sehari tidak ada ‘tuhan-tuhan’ lain yang kita jadikan sesembahan? Apabila kita masih menjadikan ‘tuhan-tuhan’ lain sebagai sesembahan, ‘tuhan-tuhan’ lain kita anggap sebagai kebenaran, ‘tuhan-tuhan’ lain memiliki kekuatan untuk memberikan rizki sehingga kita meminta rizki atau perlindungan darinya, ini berarti bukti-bukti yang kita ajukan masihlah sangat-sangat lemah dan karena itu pastilah persaksian kita akan tertolak.

Dalam hidup ini banyak ‘tuhan-tuhan’ lain yang siap menggoda kita untuk menjadikan mereka sebagai sesembahan, ada ‘tuhan’ harta, ‘tuhan’ jabatan dan ‘tuhan’ status keduniaan lain. Kalau kita sampai tergoda dan terjebak mempertuhankan yang selain Allah, maka bersiaplah untuk menerima kenyataan bahwa persaksian kita akan tertolak.

Selain mempersaksikan bahwa tiada tuhan selain Allah dengan konsekuensi logis agar kita jangan menjadikan ‘tuhan-tuhan’ lain sebagai sesembahan, kita juga mempersaksikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Cara terbaik untuk memperkuat persaksian kita, untuk mengajukan bukti-bukti yang kuat adalah dengan aktif menjalankan ajaran-ajaran Muhammad SAW.

Ada banyak lahan untuk mengumpulkan bukti-bukti agar dapat memperkuat persaksian kita. Dan lewat kesempatan renungan kita hari ini, kami ingin mengingatkan tentang status kita sebagai saksi. Dan sebagai saksi yang baik, tentunya kita ingin persaksian kita diterima oleh Allah, hakim yang seadil-adilnya (QS. At Tiin [95]:8). Mari kita aktif mengumpulkan bukti-bukti yang kuat sebanyak-banyaknya.

Perampuan Labuapi, 27 April 2002

Buku Panduan Pelatihan

Di Departemen Training, setiap kali kita mengikuti satu pelatihan, kita akan diberikan sebuah panduan, yang kita kenal dengan nama modul peserta pelatihan. Modul ini berisi semua materi yang akan kita pelajari dalam pelatihan ini. Di samping itu, modul ini juga berisi panduan panduan, cara cara melakukan pekerjaan dengan aman termasuk metode metode mencari penyebab gangguan dan juga pemecahan pemecahannya. Di akhir proses pembelajaran, kita akan menghadapi ujian yang juga soal soalnya diambil dari modul ini.

Berbagai sikap ditunjukkan oleh peserta pelatihan terhadap modul ini. Ada yang mengabaikannya, tidak pernah membacanya bahkan tidak membawanya ke sesi sesi pelatihan. Ada juga yang sekedar membacanya, membaca sambil lalu. Ketika ditanya apakah mengerti kandungan dalam modul ini, mereka berkilah bahwa instruktur akan mempertimbangkan penambahan nilai kita karena kita rajin membacanya walaupun tidak memahaminya. Demikian kira kira alasan mereka. Dan teruslah mereka membaca tanpa memahaminya.

Sebagai pembelajar, peserta pelatihan yang baik seharusnya kita membaca dan memahami kandungan modul ini. Sehingga ketika waktu ujian tiba, kita bisa menyelesaikan soal soal dengan baik, menjawabnya dengan argumen argumen yang kuat. Hal ini akan dapat menunjukkan bahwa kita memang menguasai materinya. Tetapi yang lebih jauh, isi modul ini bukan saja untuk tujuan menjawab soal soal ujian. Kandungannya mengharuskan kita untuk berpegang pada isi modul ini agar kita bisa melakukan pekerjaan dengan aman, baik dan lancar tanpa menimbulkan kecelakaan yang dapat mencederai diri kita, orang lain, peralatan dan proses kerja.

Demikian kira kira analogi kehidupan kita. Oleh Allah SWT kita diberikan satu panduan hidup yang sudah lengkap, paripurna mengenai cara cara menjalankan kehidupan ini untuk mencapai tujuan. Panduan itu bernama Al Qur'an. Dan seperti modul pelatihan, ada orang yang menganggap sepi keberadaan Al Qur'an, dalam arti tidak pernah membaca apalagi memahaminya. Kalaupun ada yang membacanya, mereka hanya membaca tanpa memahami karena mereka yakin bahwa membacanya saja sudah cukup mendatangkan pahala.

Sikap yang paling pas bagi kita adalah membaca dan memahami untuk kemudian menjadikannya pedoman dalam kehidupan ini. Kalau merasa berat dengan struktur bahasa Arab, sekarang sudah bertebaran Al Qur'an yang dilengkapi dengan terjemahannya.

Saudaraku, sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan ini, marilah kita baca, pelajari dan pahami kandungan Al Qur'an agar selamat hidup kita. Mari kita tempatkan Al Qur'an sesuai dengan proporsinya bagi kita, yaitu petunjuk bagi orang orang yang bertaqwa.

Wallahu'alam bishowab.

Sumbawa, 12 Desember 2001

Menyepelekan Amal

Dalam kitab sahih Bukhari ada diriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah ra yang memberitakan bahwa Rasulullah SAW biasa memberikan amal untuk dikerjakan oleh masing-masing sahabat sesuai dengan kemampuan para sahabat. Akan tetapi para sahabat yang menerima amalan untuk dikerjakan tersebut banyak yang protes karena menurut mereka amal-amal tersebut ringan-ringan saja sedangkan mereka masih sanggup mengerjakan amal lain yang lebih berat. Bahkan ada yang protes sampai bilang bahwa mereka bukanlah seperti Rasulullah yang ma’shum, yang telah mendapat jaminan ampunan dosa dari Allah.

Mendengar protes para sahabat tersebut Rasulullah marah sekali. Beliau mengatakan bahwa yang paling bertakwa dan paling memahami agama ini adalah beliau. Beliau menegaskan agar para sahabat jangan sekali-kali menganggap enteng pahala amal-amalan yang beliau perintahkan.

Paling tidak ada dua hal menarik yang dapat kita lihat sebagai renungan kita dari kutipan hadis di atas. Pertama adalah ‘keresahan’ para sahabat yang hanya diberikan amalan-amalan yang ‘ringan-ringan saja’. Mereka bahkan sampai berani mengajukan protes terhadap hal ini. Menurut para sahabat tersebut, mereka janganlah diberikan amalan-amalan yang berpahala kecil sebab mereka ingin berlomba-lomba mengumpulkan pahala tentunya sebagai pemberat timbangan amal kebaikan di akherat kelak. Mereka meminta Rasulullah SAW memberikan kepada mereka amalan yang lebih berat yang mestinya juga berpahala lebih berat.

Yang perlu kita renungkan adalah alangkah berbedanya ghirah, semangat beribadah para sahabat dengan semangat kebanyakan dari kita sekarang. Dalam hidup kita sekarang ini, seringkali kita tidak memiliki semangat untuk ber-fastabiqul khairat- berlomba-lomba dalam kebaikan. Kita sering merasa cukup berada di luar arena, menjadi penonton atau bahkan pengulas, pengeritik perlombaan kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika orang lain bersedekah, berinfak sekian-sekian kita sering komentari mereka mencari muka, mencari dukungan. Ketika orang lain rajin sholat berjamaah ke masjid walau pun dingin-dingin di pagi subuh, kita berdalih dengan hadis yang menyatakan bahwa Islam itu mudah maka janganlah dipersulit, cukuplah sholat di kamar saja kalau masih mengantuk. Kita lebih sering memposisikan diri sebagai penonton dan pengeritik tanpa keinginan terlibat dalam perlombaan meraih ridho Ilahi.

‘Ala kulli hal, kita jarang berusaha bertanya ibadah apa lagi yang bisa kita tingkatkan. Kita jarang resah karena tidak dapat meningkatkan amal ibadah kita. Kita sering merasa aman dengan amal yang sudah ‘rutin’ kita kerjakan tanpa ada upaya-upaya untuk pindah ke level yang lebih tinggi. Inilah sebenar-benar status quo!

Yang kedua adalah, bagaimana Rasulullah ‘meluruskan’ protes para sahabat yang menganggap bahwa amalan-amalan yang ringan-ringan akan selalu berpahala kecil.

Yang terjadi pada masa sekarang adalah, selain kita senang dengan status quo, begitu mudahnya kita melupakan amalan-amalan kecil untuk dijadikan kebiasaan. Contoh kecil, coba perhatikan berapa banyak orang Islam yang berdoa sebelum makan. Jangankan berdoa, mengawali makan dengan bismillah saja lupa! Kalau makanan sudah siap, sikat habis. Ini baru mengawali makan. Coba perhatikan lagi, berapa banyak orang yang berani mengucap salam ketika bertemu. Apalagi atasan ke bawahan, staf ke non-staf. Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada! Padahal untuk salam ini ada hadis yang menyatakan, jatah surga jatuh pada orang yang mendahului mengucap salam. Bagaimana dengan ucapan hamdalah, yarhamukallah pada saat bersin? Kayaknya lebih sering keluar ucapan bless you, ya? Mungkin karena kedengaran lebih keren... Dan seterusnya, dan seterusnya.

Yang ingin kami katakan, mari kita budayakan amalan-amalan kecil yang Islami, mengucap salam pada saat bertemu, berdoa pada saat makan atau sekedar bismillah, mengucap hamdalah ketika bersin dan membalas mendoakan dengan yarhammukallah bagi orang yang bersin (semoga Allah menyayangimu) dan lain sebagainya sambil kita berusaha meningkatkan level ketakwaan kita ke level yang lebih baik. Insya Allah amalan-amalan ringan ini dan upaya kita untuk menjadi pelaku ibadah yang lebih baik bisa menyemarakkan dakwah di lingkungan kita yang gersang ini.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 7 Mei 2002


Life begins at forty

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a, "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. Al Ahqaf [46]:15).

Kalau sering berinteraksi dengan ‘kehidupan barat’ kita akan sering mendengar ungkapan seperti judul renungan kita hari ini, ungkapan yang ingin menegaskan kepada kita bahwa kita sebenarnya memulai hidup, dianggap baru menapaki hidup justru pada usia empat puluh tahun. Ya, hidup mulai pada usia empat puluh!

Mungkin karena ungkapan ini pendek saja kita tidak mendapatkan penjelasan bagaimana usia sebelum usia empat puluh tahun ini dan bagaimana setelahnya. Ungkapan ini hanya menegaskan bahwa usia empat puluh tahun adalah usia untuk memulai hidup. Dan kita akan mengakui empat puluh tahun, memang masa yang cukup lama untuk sebuah permulaan.

Berbeda dengan ungkapan pendek di atas, ayat yang kami kutip pada awal renungan kita kali ini menyampaikan pesan moral bahwa pada usia muda sebelum empat puluh tahun ini kita berkewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua. Selain berbakti kepada orang tua, pesan yang terkandung di dalam ayat ini sebelum mencapai usia empat puluh tahun adalah persiapan untuk mencapai keberhasilan kebahagiaan. Ini terbukti pada usia empat puluh tahun, si manusia baru ini berdoa untuk dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Semakin bagus persiapan kita, Insya Allah keberhasilan yang diperoleh pun semakin baik yang kemudian berimbas pada semakin meningkatnya nilai kesyukuran.

Hal lain yang terbaca di dalam ayat ini adalah rasa syukur atas nikmat yang diberikan lebih jauh ingin dimanifestasikan, ditunjukkan dalam kerja-kerja perbaikan, amal shaleh, atau perbuatan baik yang mudah-mudahan diridhai oleh Allah SWT. Pada usia empat puluh lah kita berharap kerja-kerja perbaikan yang kita lakukan lebih dapat membuahkah hasil.

Terakhir, si manusia baru yang baru menapaki kehidupan ini berharap agar kebaikan yang telah diperolehnya dalam masa persiapan kehidupan diperoleh pula oleh anak cucunya. Ia berharap agar anak cucunya yang sedang dalam masa persiapan, juga dapat memasuki hidup dalam keberhasilan yang kemudian dapat pula menunjukkan rasa syukur nikmat.

Merenungi ungkapan life begins at forty atau makna yang terkandung di dalam ayat yang kami kutip di atas seharusnya kita melihat diri kita. Bagi yang belum sampai usia empat puluh hendaknya bertanya apa persiapan yang kurang untuk memasuki usia kehidupan ini. Bagi yang kebetulan sudah duluan sampai pada usia hidup ini, hendaknya melihat anaknya, cucunya, apa bekal yang belum dibawanya? Kesemuanya ini diharapkan akan membawa kepada syukur nikmat atas anugerah memasuki usia empat puluh.

Mari kita lihat diri kita dan anak-anak kecil di sekitar kita. Mari kita persiapkan diri dan mereka untuk memasuki hidup yang dimulai pada usia empat puluh tahun.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Perampuan Labuapi, 24 April 2002

Alhamdulillah, Nikmat Hidup

Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab:"Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. Al Baqarah [2]: 11-12)

Beberapa waktu yang lalu, bila kita lewat di jalan setapak yang menghubungkan masjid dengan mess hall, kita disuguhi bau yang tidak sedap menusuk hidung, bau bangkai yang menyengat. Menurut informasi bau tersebut berasal dari bangkai monyet yang dibunuh oleh orang infra atau enviro, wallahua’alam. Dan masih menurut informasi, monyet-monyet itu dibunuh karena sering mengganggu pengguna jalan setapak yang menuju ke mess hall tersebut. Bahkan monyet-monyet itu sudah terkesan galak! Demikian pendapat orang-orang yang bertugas membunuh tersebut. Karena itulah monyet-monyet itu harus dibunuh.

Begitulah makhluk, terutama yang bernama manusia ini. Apabila ada yang mengganggu, atau berpotensi menimbulkan gangguan maka harus dilenyapkan, dibunuh agar potensi gangguannya menjadi hilang. Bila manusia berkuasa, manusia siapa saja, maka gangguan, jangan pernah ada di jalanku! Gangguan, apa pun bentuknya, lenyapkan, bunuh! Masalah si pengganggu itu juga butuh hidup, punya hak untuk hidup, tak usah ambil pusing.

Alhamdulillah, syukur Alhamdulillah, untungnya Allah SWT, Tuhan semesta alam sungguh Maha Pengampun dan Maha Rahman, Maha Pengampun dengan pengampunan yang seluas-luasnya dan Maha Kasih dengan kasih sayang yang tak terhingga. Coba kalau Allah SWT menerapkan kebijakan ini, kebijakan tanpa pengampunan yang menetapkan bahwa setiap yang mengganggu, semuanya, manusia, hewan dan makhluk lain yang mengganggu atau berpotensi menimbulkan gangguan harus dibinasakan, maka di mana kita? Mungkin sudah dari dulu kita hilang dari peredaran dunia.

Tatatan alam ini secara sunatullah tunduk dan taat kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya yang tidak terhingga dan Maghfirah pengampunan-Nya yang Maha Luas kita masih di sini, masih diberi kesempatan hidup, masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Ini adalah nikmat, anugerah yang sangat besar yang diberikan kepada kita agar dapat bertobat dan kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita perbuat. Sayangnya, kita kadang-kadang memang sering melupakan nikmat ini.

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami. Dan maafkan perilaku hamba-Mu yang sering membuat kerusakan di atas bumi-Mu ini, di atas tatanan kehidupan yang selalu tunduk taat kepada-Mu. Tunjukilah kami selalu jalan-Mu yang lurus agar dapat kami datang kepada-Mu sebagai hamba yang diampuni, ikhlas, ridha dan diridhai. Amien ya robbal ‘alamien.

Mari kita banyak-banyak beristighfar, memohon ampun atas kelalaian kita selama ini yang tidak mau melaksanakan perintah-perintah-Nya sambil berjanji pada diri sendiri untuk mulai hari ini akan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang telah kita lalaikan.

Wallahua’lam bishshowaab
Sumbawa, 14 Mei 02

Larangan dan Kewajiban Dalam Islam

Larangan yang paling utama di dalam Islam adalah larangan menyekutukan Allah, larangan menjadikan selain Allah sebagai sesembahan. Inilah larangan yang apabila dilanggar maka pelakunya langsung dapat dikategorikan sebagai orang yang keluar dari golongan orang-orang Muslim. Apabila seseorang telah mengambil selain Allah sebagai sesembahan maka telah kafirlah dia. Karena itu dapat dikatakan bahwa menjadikan Allah sebagai sesembahan adalah batas antara Muslim dan kafir. Percaya kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah akan memasukkan seseorang sebagai orang Muslim; sedangkan mengingkari-Nya, termasuk menjadikan selain Allah tempat memohon, atau meyakini ada yang dapat melindungi selain Allah, maka berarti seseorang telah keluar batas iman.

Setelah melihat larangan terbesar di dalam Islam tentunya ada larangan yang berada persis di bawahnya, atau larangan nomor dua yang tentunya juga memiliki konsekuensi besar. Larangan yang berada satu tingkat di bawah larangan menyekutukan Allah adalah larangan durhaka kepada kedua ibu-bapak:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al Isra’ [17]:23).

Tanpa terlalu banyak merenung kita dapat melihat bahwa ayat di atas memberikan panduan kepada anak untuk berbakti, untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua. Anaklah yang diperintah agar jangan membantah dengan berkata ‘ah’ apalagi membentak orang tuanya. Anaklah yang dibimbing untuk mengucapkan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua. Ya, di ayat ini anaklah yang diberikan pedoman, diberikan arahan untuk tidak menyekutukan Allah dan berbakti kepada orang tuanya. Tetapi jangan lupa, ada beban yang sangat besar diberikan kepada orang tua. Di dalam ayat ini tersirat pelajaran bahwa orang tua harus mempersiapkan anak-anaknya agar tidak menyekutukan Allah dan agar si anak kelak dapat berbakti kepada orang tua. Tugas orang tualah untuk mendidik anak-anaknya, memberikan pengajaran, contoh tauladan kepada anak-anaknya agar kelak mereka menjadi orang-orang yang berbakti, berbakti kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Tugas orang tualah untuk mempersiapkan mereka, generasi berikutnya.

Nah sekarang dengan sedikit merenungkan makna yang terkandung dalam ayat Al Isra’ di atas, kita melihat ada hubungan timbal-balik pelaksanaan tugas antara kedua belah pihak, pihak anak dan orang tua. Kalau boleh dikatakan, ada semacam simbiosis mutualisme, ketergantungan yang saling menguntungkan antara pihak anak dan orang tua. Tentunya kita akan setuju bahwa persiapan yang dilakukan oleh orang tua untuk membentuk anak-anaknya juga pada akhirnya akan kembali kepada orang tua tersebut. Upaya pembentukan anak-anak yang dilakukan, Insya Allah, akan berbanding sejajar dengan manfaat yang diperoleh yaitu pengabdian dan penghormatan dari anak kepada orang tua kelak di kemudian hari sewaktu orang tua tersebut sampai berumur lanjut.
Sekarang, siapa pun kita atau apa pun status kita, entah masih berstatus ‘anak-anak’ atau sudah punya anak, kewajiban ini tetap berlaku kepada kita. Jelas untuk masih yang berstatus ‘anak-anak’ kewajibannya adalah memuliakan orang tua. Pembiasaan memuliakan orang tua ini juga dapat menjadi bekal persiapan untuk menjelasng status yang, Insya Allah, sebentar lagi akan dihadapi, yaitu status menjadi orang tua dan mempunyai anak. Bagi orang tua yang sudah memiliki anak, kewajiban yang terbebankan adalah mendidik agar anak-anaknya dapat menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.

Setelah taat kepada Allah, mari kita muliakan orang tua kita bila kita masih berstatus ‘anak-anak.’ Bila berstatus orang tua yang sudah punya anak-anak mari kita ajarkan anak-anak kita untuk taat kepada Allah dan berbakti kepada orang tua.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 9 Mei 2002


Episode Cinta

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran [3]:144).

Ada sebuah episode mengharukan pada hari wafatnya baginda nabi SAW. Seorang sahabat yang sangat terkenal keperkasaannya, terkenal tegas dan bersuara lantang, sahabat Umar ibnu Khattab, sewaktu mendengar berita wafatnya Rasulullah SAW langsung keluar rumah menggeret pedangnya yang terhunus sambil berkata, ‘siapa yang mengatakan Muhammad telah mati.’ Inilah pertanyaan yang lebih merupakan ancaman bahwa siapa saja yang mengatakan Rasulullah telah wafat, akan dipenggal lehernya! Dialah sahabat Umar radhiallahu ‘anhu, yang karena cintanya pada Rasulullah, begitu tidak percaya sampai lupa diri bahkan akan memenggal leher siapa saja orang yang memberitakan Rasulullah wafat.

Ada dua hal menarik yang dapat kita petik dari episode ini. Pertama, sebagaimanapun kita mencinta sesuatu, atau seseorang, entah nanti, esok atau lusa pasti kematian akan memisahkan kita dengan yang kita cintai tersebut. Bisa jadi kita yang lebih dahulu dijemput kematian, bisa juga orang yang kita cintai. Semakin besar kecintaan kita akan sesuatu, seseorang, maka rasa kehilangan pun sewaktu ditinggalkan pun akan semakin besar. Dan sayangnya, di dunia ini, semuanya, apa saja ada batas titik akhirnya. Maka yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan perpisahan ini.

Yang kedua, kita bisa melihat para sahabat begitu mencintai Rasulullah. Kecintaan ini adalah kecintaan yang tulus karena para sahabat menyadari dialah Rasulullah yang telah berhasil menyatukan mereka yang selama ini terpisah-pisah, bermusuh-musuhan dalam kabilah-kabilah. Dialah rasulullah yang mengangkat derajat hidup mereka dari suku yang bar-bar, buas dan tidak berprikemanusiaan, biadab, pembunuh bayi-bayi yang tak berdosa menjadi kaum yang memiliki rasa persaudaraan, kasih-sayang dan solidaritas yang tinggi. Bagi para sahabat, Rasulullah adalah guru, bapak, pengayom, sahabat, pemimpin dan tempat berbagi. Di dalam riwayat lain diceritakan sahabat Umar ra sering menangis karena mengingat sebelum kedatangan Islam ia pernah mengubur bayinya hidup-hidup hanya gara-gara bayi tersebut perempuan! Umar ra, menangis mengingat bayi merah tersebut, yang tak berdaya menggapai-gapaikan tangan mungilnya. Sifat bar-bar inilah yang telah dirombak total oleh Rasulullah, diganti dengan sifat penyayang. Karena itu, Umar ra, begitu kehilangan guru yang telah mengajarkannya kasih-sayang.

Episode pada hari wafatnya Rasulullah SAW ini ditutup dengan bertekuk-lututnya Umar ra, di hadapan sahabat Abu Bakar, yang dengan lemah-lembut menyentuh hati Umar dengan pernyataan “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?” Kalimat-kalimat Abu Bakar bagaikan air segar dari mata air di tengah-tengah kegelisahan, penyejuk di tengah-tengah kebingungan karena orang yang paling dicintai pergi untuk tidak kembali lagi. Mendengar kalimat lembah-lembut Abu Bakar, tangan Umar ra yang semula erat menggenggam pedang jatuh terkulai menyadari kesalahan aplikasi pernyataan cintanya yang berlebihan yang tak rela ditinggal orang yang dicintai.

Ikhwan fillah, kita perlu mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi perpisahan ini, perpisahan dengan yang kita cintai. Selain itu, setelah berulang kali kita memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW, mari kita tanya diri sendiri. Adakah kecintaan kita pada beliau seperti kecintaannya Umar ra? Adakah kecintaan kita pada beliau, pada ajaran-ajaran beliau bertambah tiap kali memperingati maulidnya? Hanya jiwa yang suci yang bisa menjawab tanpa apologi.

Mari kita tingkatkan kecintaan kita pada Rasulullah, pada ajaran-ajarannya agar kita dapat bersaksi sebagai pengikutnya dan mendapat syafaatnya di hari penghitungan.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 14 Mei 2002

Persiapan

Dalam ilmu ekonomi, keuntungan dapat diperoleh dengan bekerja pada dua variabel; dengan menurunkan biaya produksi atau meningkatkan nilai jual. Keuntungan yang diperoleh akan meningkat apabila pengusaha dapat melakukan salah satu atau kedua variabel ini. Semakin rendah biaya produksi dan semakin tinggi nilai jual akan berarti keuntungan yang semakin besar. Demikian juga, semakin tinggi biaya produksi dan semakin rendah nilai jual, maka sudah pasti kerugian membayang di depan mata. Idealnya seorang pengusaha akan mengusahakan opsi pertama yaitu menurunkan biaya produksi dan menaikkan nilai jual.

Walaupun dalam tataran idealisme yang harus diusahakan adalah opsi pertama yaitu menurunkan biaya produksi dan meningkatkan nilai jual, dalam kenyataannya, yang lebih sering dijumpai adalah kecenderungan hanya salah satu variabel yang dapat dikontrol. Dalam dunia usaha yang sehat pengusaha lebih sering menjumpai bahwa mereka tidak dapat mengontrol harga jual karena hal ini merupakan faktor eksternal. Jadi yang paling bisa mereka lakukan adalah mengoptimalkan variabel pertama, yaitu menurunkan biaya produksi. Inilah pengusaha yang menyadari bahwa apabila salah satu variabel sudah mencapai titik nadir, tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat dipengaruhi, maka yang harus diambil adalah langkah mengoptimalkan variabel yang lainnya. Contoh terdekat adalah perusahaan Newmont ini. Karena merasa tidak dapat mempengaruhi harga pasar, maka yang dilakukan adalah penurunan biaya produksi. Inilah efisiensi.

Konsep mengoptimalkan salah satu variabel apabila variabel lainnya sudah tidak dapat dipengaruhi, tidak dapat diganggu-gugat juga berlaku pada perintah Ilahi berikut:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran [3]:102)

Untuk mencapai kebahagiaan akhirat, seseorang tidak boleh mati kecuali dalam keadaan Islam. Dan karena kematian adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat, tidak kita ketahui kapan waktunya, maka variabel yang dapat kita optimalkan adalah mengusaha-kan agar kita selalu dalam keadaan Islam. Kita tidak dapat mengetahui saat tibanya kematian, karena kalau dapat maka mungkin kita hanya akan bertakwa pada hari menjelang kematian tersebut. Jadi yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri tetap dalam keadaan Islam. Apapun aktivitas yang kita lakukan, bekerja, makan-minum, duduk, berkendaraan, tidur dan lain-lain harus dalam kondisi waspada agar tetap dalam koridor Islam. Hal ini didasarkan pada kenyataan banyaknya orang yang dijemput kematian misalnya pada saat menunaikan tugas pekerjaan, pada saat berkendaraan bahkan berapa banyak orang yang sewaktu berangkat tidur dalam keadaan segar-bugar tetapi kemudian esoknya tidak bangun-bangun lagi karena kematian datang menjemputnya. Karena itulah, kita yang masih diberi kesempatan ini semestinya bersiap-siap, mempersiapkan diri selalu dalam keadaan Islam sehingga ketika kematian datang kita akan bahagia, karena dijemput kematian dalam keadaan Islam. Inilah husnul khotimah, akhir dalam kebaikan, mati yang, Insya Allah, dapat beroleh keuntungan.

Sebelum memulai sebuah aktivitas ada baiknya kita tanya diri sendiri lebih dahulu adakah kegiatan kita ini sesuai dengan perintah Allah atau tidak? Apa jawaban yang dapat kita berikan apabila kita dijemput kematian ketika melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan perintah Allah? Maka kalau kita sudah berani mengajukan pertanyaan seperti ini pada diri sendiri, selain mengawali aktivitas tersebut dengan basmalah, Insya Allah kita dapat berbesar hati paling tidak ketika kematian menjemput sewaktu menjalankan aktivitas tersebut, kita sudah bisa mempersiapkan jawaban, inilah hambamu, ya Allah yang datang kepada-Mu dalam keadaan Islam. Insya Allah.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89 [Al Fajr]:27-30)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Perampuan, Labuapi 12 Mei 2002


Sunnatullah

Kalau kita perhatikan, keseluruhan tatanan alam ini selalu tunduk kepada hukum-hukum Allah. Penciptaannya sudah ditentukan dengan ketentuan yang jelas. Inilah maksud dari firman Allah: Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. Al Hijr [15]:21). Dan firman-Nya yang lain: Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath Thalaq [65]:3).

Inilah qadar, ketentuan Ilahi dan Allah SWT memberitakan diri-Nya sebagai Qadirun, yang maha menentukan qadar makhluk. Bila saja makhluk-makhluk ini mencoba-coba keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka kesengsaraanlah yang akan diperolehnya. Contoh kecil, seekor ikan, secara sunnatullah ditetapkan untuk hidup di air. Kalau ia mencoba keluar dari alamnya, dan mencoba-coba hidup di tanah yang gersang, niscaya kematian yang akan menjemputnya. Seekor semut, secara sunatullah harus membuat rumah di lubang-lubang tanah, dan mencari makanan untuk digotong beramai-ramai ke sarang-sarangnya. Menurut ketentuan Allah, semut tidak akan pernah bisa hidup di dalam akuarium bersama-sama ikan.

Benda-benda mati pun di alam ini tunduk pada ketentuan Ilahi. Contoh kecil, air hujan mengalir dari tempat-tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, menuju ke laut atau kemudian meresap kembali ke dalam tanah. Bila manusia mencoba menghalang-halangi hal ini dengan menutup resapan-resapan tanah dan menghalangi jalan-jalannya menuju ke laut, maka tunggulah air tersebut akan terkumpul dan menjelma menjadi banjir! Api membakar, benda bumi jatuh ke bawah, makhluk termasuk manusia menjadi tua dan kemudian mati, adalah sebagian kecil contoh-contoh sunnatullah yang berlaku di alam ini.

Di antara banyak sunnatullah yang berlaku pada manusia, misalnya contoh di atas menjadi tua dan mati, ada lagi sunnatullah yang lain pada manusia yaitu kerinduannya akan berketuhanan. Manusia yang hanif, yang secara sunnatullah diciptakan cenderung kepada kebaikan ini akan selalu mencari dan memberi makna kehidupannya dengan segala hal yang baik-baik. Sejahat apa pun manusia, seatheis apa pun ia, ia akan selalu rindu pada ‘tuhan.’ Bahkan orang atheis pun kemudian akan merasa ‘khusuk’ dengan perasaan meluap bila berada dalam kesatuan orang-orang yang sejalan dengannya. Konsep rindu ketuhanan ini mereka tunjukkan dengan memanifestasikan tuhan dalam bentuk materi-materi.

Yang perlu kita renungkan adalah rasa rindu tuhan ini sudah ada secara fitri di dalam jiwa kita yang terdalam. Apabila dihalang-halangi, mengingkari keberadaan-Nya, maka kegelisahan tanpa ujung yang akan dijumpai.

Secara sunnatullah, manusia sudah terlahir dengan membawa rasa berketuhanan hanya kemudian lingkungannyalah, yang pertama kali diwakili oleh orang tuanya yang akan membelokkan manusia tersebut menjadi penyembah tuhan-tuhan yang lain.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):"Bukankah Aku ini Tuhanmu". Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al A’raf [7]:172).

Marilah kita ikuti kata hati kita yang secara fitri selalu tunduk pada ketentuan Ilahi. Marilah kita jawab kerinduan kita pada tuhan dengan membebaskan jiwa ini bermunajat, tunduk sujud bermohon kepada-Nya.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30). Amien.

Sumbawa, 15 Mei 2002


Petunjuk bagi Orang-orang Bertakwa

Ambillah sebuah buku, lalu perhatikan kata pengantarnya. Seringkali pada bagian awal kata pengantar kita jumpai ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah mendukung hingga buku tersebut sampai ke tangan pembaca. Di bagian lain kata pengantarnya ada dijelaskan bahwa penulis akan dengan senang hati menerima masukan, kritik dan saran dari pembaca. Maaf bukan bermaksud membanding-bandingkan, sekarang coba ambil Al Qur’an. Di dalam Al Qur’an setelah surat pembuka, Allah SWT benar-benar menegaskan bahwa ‘Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (QS. Al Baqarah [2]:2).’

Ada dua hal yang dapat kita lihat dari pernyataan awal oleh Allah SWT mengenai Al Qur’an ini. Pertama, buku bacaan yang bernama Al Qur’anul Karim ini ditegaskan sebagai suatu kebenaran yang tidak ada kekeliruan di dalamnya. Susunan, isi, ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran. Pernyataan bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah Allah adalah kebenaran. Kewajiban sholat untuk mengingat Allah adalah kebenaran. Perintah mengeluarkan zakat adalah benar. Berbakti kepada orang tua, akhlak terhadap sesama, mencari rizki secara halal dan lain-lain ajaran di dalamnya adalah kebenaran. Cerita-cerita kaum terdahulu sebagai pelajaran untuk umat sekarang adalah kebenaran. Larangan untuk mengambil orang-orang kafir menjadi wali, teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong (QS. Ali Imran [3]: 28) adalah kebenaran. Fenomena alam yang dijelaskan di dalam Al Qur’an misalnya matahari yang bersinar dan bulan yang bercahaya* (Yunus [10]:5), hujan yang turun dari awan yang dijalankan (QS. Ar Rum [30]:48) adalah kebenaran. Dan lain-lain yang tercantum di dalamnya adalah kebenaran. Kesemuanya tiada dapat terbantahkan.

Yang kedua, ini yang penting, semua kebenaran tersebut diberitakan untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang bertakwa. Mafhum mukhalafah, atau pemahaman terbalik dari pernyataan ini adalah hanya orang-orang bertakwa sajalah yang dapat mengambil pelajaran dari semua kebenaran berita Qur’ani ini. Orang-orang yang ingkar, sebagai lawan dari orang bertakwa, cenderung akan menganggap sepi kebenaran bahkan keberadaan Al Qur’an. Atau dengan kata lain, ini agak ekstrim, yang tidak dapat menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk bukanlah orang-orang bertakwa! (Silakan ditegur apabila pemahaman terbalik ini salah).

Sekarang, kembali ke diri kita. Ada baiknya untuk melihat status internal diri, kita gunakan standar yang baku ini. Termasuk orang bertakwakah kita atau sebaliknya. Mari kita tanya diri sendiri, sudah seberapa jauh kita berdialog dengan Al Qur’an, menggali isinya dan menjadikan petunjuk dalam kehidupan kita. Kalau sekiranya interaksi kita masih sedikit, bahkan kita belum lancar membaca tulisannya, janganlah malu mengakui hal ini. Kita perlu memperbaiki kondisi ini, dari belum bisa menjadi bisa, dari interaksi yang sedikit menuju tahap menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk agar kita bisa menjadi orang yang bertakwa. Jangan sampai kita stagnan, diam dan bangga dalam ketidakbisaan. Jangan sampai kita mentertawakan diri sendiri karena memiliki status keduniaan yang sudah tinggi tapi predikat akhirat masih ketar-ketir. Jangan sampai hati kita yang terdalam mengakui bahwa kita bukan orang-orang yang bertakwa karena tidak bisa mengambil petunjuk dari Al Qur’an. Naudzubillah.

Terakhir, kami ingin mengulang pernyataan Ilahi bahwa Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

Billahittaufiq Wal Hidayah
RSI ‘Siti Hajar’ 16 April 2002

Catatan: YMBH siap membantu bila ada di antara kita yang belum bisa membaca Al Qur’an.

Khawatir dan sedih hati

Ada dua penyakit batin yang sangat mengganggu kelancaran perikehidupan kita. Penyakit yang kami maksud di atas adalah khawatir dan sedih hati. Penyakit pertama biasanya ditandai dengan berjubelnya tanda tanya yang menghiasi pandangan kita. Kepala dipenuhi dengan rentetan kekhawatiran jangan-jangan, jangan-jangan. Inilah was-was yang selalu menghalangi langkah menuju kemajuan. Jangan-jangan nanti begini, jangan-jangan nanti begitu dan banyak lagi jangan-jangan lainnya yang selalu memenuhi jalan darah dan rongga pikiran. Dan bahayanya lagi, penyakit pertama ini selain dapat mempengaruhi pikiran atau cara pandang terhadap sesuatu ia juga dengan jelas dapat langsung mempengaruhi fisik. Lemah jantung, mungkin itu yang agak jelas dampak langsung dari penyakit khawatir ini.

Penyakit kedua yang juga mempengaruhi gerak langkah manusia adalah rasa sedih. Perasaan ini apabila timbul dapat menghalangi langkah yang dinamis. Bagaimana bisa bergerak maju bila di dalam diri seseorang bersemayam perasaan melankolis, bersedih-sedih? Padahal untuk hidup yang bergerak cepat ini dibutuhkan orang-orang yang juga dapat bergerak luwes tanpa hambatan. Bukankah Allah SWT menegaskan bahwa hidup ini begitu dinamis? Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (QS. Nasyrah [94]: 7). Atau dengan kalimat lain kita diharuskan bergerak maju, pindah untuk mengerjakan hal lain dengan sungguh-sungguh apabila telah menyelesaikan satu hal karena dunia ini tidak butuh orang yang berleha-leha. Dan ia tidak pernah peduli pada orang-orang yang merajuk. Siapa yang dinamis, maka ia akan bisa bertahan. Dan sayangnya, orang yang bersedih, cenderung tidak akan bisa cepat melangkah.

Banyak orang yang mengidap penyakit khawatir dan bersedih ini cenderung tidak tahu penyebab kekhawatiran dan kesedihannya. Tetapi yang lebih banyak adalah banyak orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya mengidap penyakit ini. Takut mengatakan yang benar karena khawatir dikatakan tidak memiliki rasa toleransi, khawatir dikatakan tidak memiliki solidaritas antar kawan, takut memihak kepada yang lemah atau dilemahkan karena khawatir menghalangi status keduniaan dan perjalanan jabatan, sedih bila nanti anak keturunan tidak dapat, umpamanya, sekolah di sekolah favorit bersama-sama anak-anak orang kaya lain, takut berkawan dengan saudara-saudara seiman karena nanti bisa dikatakan fundamentalis dan lain-lain adalah contoh-contoh kecil kekhawatiran dan rasa sedih yang mestinya tidak ada.

Kalau kita perhatikan ayat-ayat Al Qur’an, kedua penyakit ini sering diulang-ulang (lihat QS 2:62, 112, 262, 274, 277; QS 3:170, QS 4:69 dll). Hal ini menunjukkan bahwa dua penyakit ini cukup penting dalam pandangan Allah SWT dengan melihat beberapa akibat seperti kami contohkan di atas. Karena itu dua penyakit ini perlu disembuhkan.

Untungnya kalau kita lebih memperhatikan ayat-ayat yang menunjukkan penyakit khawatir dan sedih ini, kita akan menemukan bahwa Allah SWT langsung memberikan terapi penyembuhannya. Terapi yang dimaksud adalah iman kepada Allah. Perhatikan salah satu ayat ini:

...Dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhan-nya dan tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al Baqarah [2]:112).

Di sini obat rasa khawatir dan sedih hati itu adalah penyerahan diri kepada Allah.

Sekarang coba perhatikan ayat ini.

Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al An’am [6]:48).

Di sini obatnya adalah iman dan mengadakan perbaikan.

Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:"Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS. Al Ahqaf [46]:13).

Intinya, obat penyakit khawatir dan bersedih hati hanyalah iman kepada Allah. Insya Allah semakin kuat keyakinan kita kepada Allah, semakin kita tunduk taat kepada perintah-perintah-Nya, maka semakin kuat daya sembuh iman kita itu terhadap kedua penyakit ini. Mari kita tingkatkan iman keyakinan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya agar kita terhindar dari penyakit khawatir dan bersedih hati ini. Wallahua’lam Bishshowab.

Sumbawa, 22 Mei 2002

Syukur Nikmat

Allah SWT berulang kali menegaskan agar Umat-Nya selalu mengingat nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Bahkan di bagian lain Allah SWT menganjurkan kita untuk menyebut-nyebut nikmat yang telah diberikan itu (QS Ad Dhuha [93]:11), menyebut-nyebut dalam artian mengucapkan dengan lisan, mengungkapkan kesyukuran misalnya dengan ucapan ‘Alhamdulillah, hari ini saya masih berada di jalan orang-orang beriman, Alhamdulillah, hari ini saya masih diberikan kesempatan untuk menikmati hidup, Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan mengaplikasikan ilmu yang diberikan di proyek ini’ dan masih banyak nikmat yang mesti kita sebut-sebut yang kesemuanya akan dapat meningkatkan kesyukuran. Bahkan, kesadaran untuk syukur nikmat ini pun mesti disyukuri karena ternyata tidak sedikit orang yang telah diberikan nikmat tetapi lupa bersyukur. Walhasil, karena lalai bersyukur, apa saja nikmat yang telah diberikan, seberapa banyak pun harta yang dimiliki, seseorang yang lalai tersebut akan tetap merasa kurang.

Selain diperintah untuk memperbarui kesyukuran atas nikmat-nikmat yang diberikan, kita juga dihadapkan pada sebuah pertanyaan retorik, pertanyaan yang lebih berupa penegasan yang tak terbantahkan dari Allah SWT. Inilah pertanyaan yang berupa tantangan yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahman ”Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan (QS. Ar Rahman [55]). Dan memang nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kita tidak terhitung jumlahnya. Allah SWT mempermaklumkan bahwa kita tidak akan dapat menghitung berapa jumlah nikmat tersebut. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nahl [16]:18). Kami ambil contoh satu saja. Sadarkah kita bahwa kita yang hidup ini berasal dari satu sperma yang berhasil membuahi indung telur setelah ‘mengalahkan’ beribu-ribu saingan?

Ikhwan fillah, kembali ke pernyataan pada paragraf pertama bahwa tidak sedikit orang yang lupa bersyukur, kami ingin mengutip pernyataan Ilahi bahwa “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir (QS. An Nahl [16]:83). Inilah orang-orang yang kafir, ingkar terhadap nikmat-nikmat yang telah diberikan. Dan menurut pernyataan qur’ani di atas, proporsi orang yang lupa dibandingkan dengan yang mengingat-ingat nikmat yang telah diberikan untuk disyukuri adalah lebih banyak!

Mari kita lebih dalam melihat diri kita, melihat berapa banyak nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Mari kita keluarkan diri dari kungkungan orang-orang yang kebanyakan lalai mensyukuri nikmat Ilahi. Insya Allah dengan banyak-banyak bersyukur, memelihara dan menggunakan nikmat-nikmat ini sesuai dengan tuntunan Ilahi, mengulurkan tangan membagi sebagian kecil nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan untuk orang-orang yang kebetulan membutuhkan, Insya Allah dengan ini Allah akan menambah nikmat-nikmat tersebut.

Syukur nikmat termasuk salah satu cara untuk menghindari azab Allah yang tak terhingga pedihnya."Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim [14]:7).

Mari kita awali hari kita dengan bersyukur kepada Allah.

Sumbawa, 21 Mei 2002


Alhamdulillah, Matahari bersinar Kembali

Subhanallah. Alangkah mengagumkannya hidup orang beriman. Rentetan kegiatan dalam siklus hidupnya selalu berputar dalam kisaran ketaatan, tunduk kepada Allah. Segala kebiasaan yang dilakukannya dinilai ibadah, dan tentunya akan mendapatkan balasan kebaikan di akhirat hanya karena niatnya melakukan hal tersebut karena Allah. Bahkan senyum yang diberikan bernilai ibadah, dihitung sebagai sedekah kepada saudaranya. Oh, alangkah damainya hidup orang beriman.

Alangkah mengagumkan. Baru membuka kesadarannya kembali dari istirahat tidurnya, sebelum melakukan kegiatan-kegiatan lain, lisan orang beriman langsung berdzikir memuji Allah yang telah memberikan kesempatan hidup kembali setelah sempat ‘mati’ sebentar. Orang beriman sadar betul bahwa tidur tiada bedanya dengan mati. Demikian juga, mati bukanlah sesuatu yang menakutkan karena tiada beda dengan tidur panjang. Kesadarannya ini ia dasarkan pada kenyataan bahwa berapa banyak orang yang dijemput maut justru pada saat tidur. Kesadaran inilah yang membimbing orang beriman langsung memuji Allah ketika dibangunkan kembali dari tidurnya. Maha suci Allah yang telah menghidupkan kembali setelah kami mati dan kepada-Nyalah kami kembali. Ucapan pertama lisannya ini bernilai ibadah di hadapan Allah.

Makan-minum yang bagi kebanyakan orang adalah sekedar cara untuk menghilangkan rasa haus dan lapar yang mengganjal, bagi orang beriman, itu adalah sarana untuk lebih meningkatkan kesyukuran atas karunia Ilahi. Sebelum makan dan minum, orang beriman menetapkan niat dengan nama Allah, kesadarannya menegaskan bahwa rezeki yang akan dinikmatinya berasal dari Allah. Setelah itu, ia mengakhiri dengan memuji Allah atas nikmat makanan dan minuman yang dinikmatinya.

Mencari nafkah yang bagi orang lain adalah sekedar cara untuk menopang keluarga, mengumpulkan harta sebagai bekal di atas dunia ini, bagi orang beriman, kerja adalah ibadah yang ia niatkan karena Allah, untuk mencari rezeki yang diridhoi-Nya. Sebelum melangkahkan kaki ke tempat kerja, niatnya sudah tertanam karena Allah, Bismillah mengakar dalam jiwanya yang terdalam. Ia berangkat mencari rezeki dengan cara-cara yang halal untuk nafkah keluarganya. Ini pun dinilai ibadah, sedekah kepada keluarga.

Alangkah mengagumkan! Alangakah mengagumkan! Apa pun gerak langkah dirinya dalam hidup ini ia sandarkan pada Allah. Melihat keindahan, ia mengagumi ciptaan Allah. Subhanallah mengalir dari lisannya memuji Allah atas kesempurnaan ciptaan-Nya. Ditimpa musibah ia bersabar sambil dirinya berserah diri dengan kesadaran hakiki bahwa siapa pun ia, semuanya akan kembali kepada Allah. Lisannya mengucap Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ini juga terhitung tabungan untuk bekalnya. Mau memulai satu pekerjaan, Bismillah. Setelah selesai, Alhamdulillah. Kembali ia menyandarkan diri pada Allah. Bertemu orang, ia menampilkan wajah berseri, melemparkan senyuman sambil bibirnya mengucap doa keselamatan, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dan seterusnya, dan seterusnya yang kesemuanya tetap berputar pada kepasrahannya kepada Allah.

Sungguh mengagumkan!

Dan yang lebih mengagumkan lagi, Rasulullah SAW suatu kali pernah menyampaikan kekaguman beliau terhadap orang-orang beriman ini. Sungguh ajaib orang-orang beriman itu, begitu kira-kira sabda Rasulullah SAW. Apabila mendapatkan nikmat, ia bersyukur. Syukurnya itu dinilai kebaikan di hadapan Allah. Apabila mendapat musibah, ia bersabar. Sabarnya itu bernilai kebaikan di hadapan Allah. Bahkan, Allah SWT menegaskan, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (QS. Al Mukminun [23]:1).

Marilah kita tetapkan diri dalam golongan orang-orang beriman, orang-orang dikagumi oleh Rasulullah SAW dan semoga kita bisa memperoleh keberuntungan.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 24 Mei 2002

Ibadah Sungsang

Suatu ketika Rasulullah sedang bersama para sahabat. Tiba-tiba serombongan orang lewat sambil mengusung keranda menuju pemakaman. Melihat rombongan tersebut, Rasulullah SAW langsung berdiri yang diikuti oleh para sahabat. Setelah rombongan lewat, salah seorang sahabat ‘menegur’ Rasulullah memberitahu bahwa yang lewat tersebut adalah rombongan pengiring jenazah orang Yahudi. Mendengar hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa yang perlu dipahami jenazah tersebut tadinya adalah manusia juga. Karena itu beliau berdiri untuk menghormati kemanusiaan jenazah – dalam hal ini jenazah orang Yahudi tersebut.

Ikhwan fillah, kalau kita mau mencoba kritis terhadap kehidupan kita sekarang ini, marilah kita melihat kegiatan apa yang dihormati dengan cara berdiri. Kita tentu pernah menghadiri upacara pernikahan saudara-saudara kita. Sebelum kedua mempelai keluar menuju pelaminan, pembawa acara akan mempersilakan hadirin tamu undangan untuk berdiri. Ya, dalam kehidupan kita sekarang ini, yang mendapatkan penghormatan dengan cara berdiri, penghormatan yang seharusnya diberikan kepada mayat adalah sepasang pengantin yang baru memasuki babak baru dalam kehidupan. Wallahua’lam. Dalam satu kesempatan lain, sewaktu Rasulullah SAW memasuki majlis, para sahabat yang lebih dahulu datang berdiri untuk menyambut Rasulullah SAW. Tetapi oleh Rasulullah SAW para sahabat disuruh untuk tetap duduk. Beliau tidak ingin diperlakukan seperti raja.

Mari kita lanjutkan karena kita menyinggung proses pernikahan.

Mahar, maskawin yang lagi tren sekarang adalah mahar berupa seperangkat alat sholat dan satu buah mushaf Al Qur’an. Tanpa bermaksud pesimistis terhadap kecenderungan seperti ini, kita seharusnya menanamkan kepada pemuda yang akan melangsungkan pernikahan bahwa seperangkat alat sholat dan mushaf Al Qur’an tersebut bukan bukti, simbolisasi keberagamaan seseorang. Tinggi rendahnya tingkat keberagamaan seseorang, baiknya kualitas iman seseorang tidak dapat ditunjukkan dengan sekedar memberikan alat sholat dan satu buah Al Qur’an itu apalagi yang tersimpan dan terbungkus rapi. Tetapi hal ini ditunjukkan oleh pengamalan simbolisasi ini. Contoh konkritnya mungkin seberapa sering seperangkat alat sholat tersebut dipakai untuk sholat dan seberapa sering Al Qur’an itu dibaca untuk dipahami dan dijadikan pedoman dalam keluarga baru ini. Dengan kata lain, di dalam simbolisasi pemberian seperangkat alat sholat dan satu mushaf Al Qur’an tersebut tersimpan kewajiban besar bagi si suami untuk mengajarkan sholat atau mengajarkan membaca Al Qur’an apabila kebetulan si istri belum bisa sholat atau bahkan belum bisa sekedar membaca Al Qur’an.

Baik, karena kebetulan membahas simbolisasi Islam.

Biasanya di rumah-rumah keluarga yang baru dibina ini, termasuk keluarga-keluarga lama, sering kita jumpai hiasan kaligrafi yang diambil dari potongan-potongan ayat Al Qur’an. Ayat yang paling sering dijadikan hiasan kaligrafi adalah ayat kursi yang maknanya sebagai berikut:

Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 2:255)

Ayat kursi ini menekankan tentang ketauhidan, pengesaan Allah, tiada Tuhan selain Dia. Akan tetapi seringkali orang yang memasang hiasan ayat kursi ini telah terjerumus, mencari perlindungan dari ayat kursi ini. Atau paling tidak ayat kursi ini diyakini sebagai penegas, bukti bahwa pemiliknya beriman.

By the way, sebelum kita terlalu jauh, mari kita kembali ke awal renungan kita hari ini. Banyak sekali yang mesti kita reformasi, terutama kualitas iman kita. Mudah-mudahan beberapa contoh di atas dapat menjadi bekal bagi para pemuda (dan tentunya juga pemudi) yang akan segera melangsungkan pernikahan. Juga tentunya mudah-mudahan bermanfaat bagi orang tua yang akan segera menikahkan putra-putrinya.

Jangan kita sok merasa beribadah padahal ibadah kita sungsang, salah penempatan. Yang lebih parah, selain sungsang, ibadah kita juga salah secara syariat. Yang tidak ada tuntunan ditinggi-tinggikan, sementara yang dianjurkan, kok ditinggalkan.

Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Amien.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 27 Mei 2002

Dakwah itu berat, Jenderal!

Sebagai orang yang hanif, orang yang condong ke arah kebaikan, tentu kita menginginkan kehidupan di sekeliling kita berjalan dalam rel kebaikan, yang tentunya sesuai dengan aturan-aturan Ilahi. Sebagaimana pun kesalnya kita terhadap perilaku seseorang, kita sering berharap agar orang tersebut dapat kembali ke jalan yang benar.
Karena itu, walau pun status kita bukan ustadz, kiai apalagi ulama kita pun sering berusaha menyadarkan saudara-saudara kita itu. Dan ini adalah sesuatu yang lumrah. Kita menginginkan semua orang yang kita kenal atau juga tidak kita kenal dapat berjalan sesuai aturan-aturan-Nya. Fitrah manusia memang sudah terlahir dalam kebaikan dan karena itu selalu menginginkan kebaikan baik untuk dirinya dan juga lingkungannya.

Akan tetapi seringkali juga orang yang kita harapkan berubah itu, setelah berulang kali kita nasihati, kita kirimi artikel-artikel untuk perbaikan, kita pinjami buku-buku Islami karena kita tidak dapat menyitir ayat-ayat Qur’ani sendiri, mereka tetap saja dalam keadaannya alias tidak juga berubah sesuai harapan kita. Dan menghadapi keadaan ini ada di antara kita yang segera undur diri, merasa frustasi dengan usahanya yang tidak juga membuahkan hasil ini.

Ikhwan fillah, sesuai judul renungan kita kali ini, kami ingin mengingatkan kita semua mengenai kerja dakwah, mengajak ke kebaikan ini. Kerja dakwah ini adalah kerja berat, terus-menerus yang tidak akan langsung membuahkan hasil. Kerja ini membutuhkan proses. Mengenai beratnya kerja ini terlukis dari firman Allah SWT kepada teladan dakwah kita, Nabi Muhammad SAW. Allah SWT menegaskan: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? (QS. An Nasyrah [94]:1-3)

Dalam ayat ini kata memberatkan menggunakan kata ‘anqadho’ dan tafsir kata ini berarti beratnya sampai terdengar bunyi (Al Qur’an dengan asbabun nuzul As Syuyuthi). Inilah perumpamaan kerja dakwah yang beratnya sampai terdengar bunyi ‘krek’ di punggung orang-orang yang siap menanggung kerja ini. Bahkan di bagian lain, Allah menegaskan bahwa kerja ini akan diturunkan, ditumpahkan.

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. Al Muzammil [73]: 1-5)

Kata menurunkan dalam ayat (5) surat Muzammil di atas menggunakan kata ‘nalqa, sanulqi’ dan makna kata ‘nalqa’ ini adalah menurunkan persis seperti orang yang berjalan jauh membawa beban berat di kepalanya kemudian orang tersebut menurunkan, menumpahkan beban tersebut mungkin seraya bergumam, nih bebannya, silakan ambil. Subhanallah! Dan beban yang dimaksud tiada lain adalah beban dakwah.

Jadi kerja dakwah ini adalah kerja berat. Karena itu hal yang paling dibutuhkan adalah kesabaran pelakunya. Inilah kerja yang membutuhkan pelaku-pelaku yang tidak berjiwa ekspres, ingin cepat membuahkan hasil seperti makanan siap saji.

Selain kesabaran, pelaku dakwah juga dituntut untuk istiqomah, lurus dalam dakwahnya, dalam kalimat-kalimat yang disampaikannya. Jangan pernah berharap untuk melarang anak kecil merokok sambil kita sendiri mengepulkan asap rokok. Pelaku dakwah dituntut untuk menjadi pelaku pertama dari apa yang disampaikannya. Bila saja kita terlihat tidak konsisten, itu alamat apa yang kita sampaikan tidak akan berhasil.

Dan jangan lupa, pelaku dakwah juga harus menyandarkan segala aktivitasnya kepada sandaran Ilahi. Kita doakan obyek dakwah kita, kita mohonkan mereka dan kita sendiri agar tetap berada di jalan yang lurus. Rasulullah SAW sewaktu dilempari oleh penduduk thaif, beliau tidak memohon agar penduduk Thaif dihancurkan seperti anjuran Jibril. Tetapi yang beliau mohon adalah agar penduduk Thaif diberi hidayah oleh Allah SWT.

Mari kita doakan diri kita dan saudara-saudara kita agar tetap dalam petunjuk Ilahi.

Wallahua’lam
Sumbawa, 27 Mei 2002

Art of War

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengetahuan mengenai strategi dan kekuatan lawan, perlengkapan perang, senjata yang dimiliki lawan dapat membantu kita meraih kemenangan dalam pertempuran atau paling tidak membantu memperkuat pertahanan kita. Semakin banyak informasi mengenai strategi dan kekuatan lawan, maka akan semakin mudah kita mempersiapkan jurus-jurus menghindari serangan bahkan mempersiapkan jurus-jurus untuk memukul mundur. Tetapi sebelum itu, yang lebih penting lagi adalah pengenalan mengenai siapa musuh sesungguhnya akan jauh lebih membantu dalam memenangkan pertempuran ini. Apabila kita sudah mengenal dengan benar siapa musuh kita yang sebenarnya, kita akan segera dapat mengidentifikasi musuh kita walaupun ia tampil dalam kamuflase, penyamaran yang sempurna. Jadi yang pertama adalah kita kenal siapa musuh kita dan selanjutnya kita pelajari strategi-strategi andalannya.

Demikian juga dalam hidup ini. Hidup ini kita yakini sebagai perjuangan, perjuangan mempertahankan diri di jalur yang diridoi oleh Allah untuk menghindarkan diri dari jebakan-jebakan syaitoni. Inilah pertempuran antara baik dan buruk. Dan Allah SWT telah menegaskan bahwa musuh kita yang sebenar-benarnya adalah syaitan. Tinggallah kita sekarang pertama kali harus benar-benar menyatakan bahwa syaitan itu adalah musuh yang harus kita perangi. Karena kalau tidak, kita akan cenderung menjadikan syaitan sebagai kawan dan kemudian mencari musuh-musuh lain yang bisa jadi adalah saudara-saudara kita sendiri. Apabila kita sudah menyatakan bahwa syaitan adalah musuh, maka Insya Allah kita akan selalu dapat mengenalinya walau pun ia tampil dalam penampilan-penampilan kamuflase yang menakjubkan.

Setelah menentukan syaitan sebagai musuh, seperti dalam pertempuran-pertempuran lain sebagaimana kami sebutkan di atas, kita harus banyak-banyak mempelajari strategi-strategi yang telah digunakan oleh syaitan untuk menjerumuskan umat manusia. Untuk ini, kita bisa bercermin dari kejadian-kejadian yang telah berlaku baik pada orang lain, umat terdahulu atau bahkan yang telah berlaku pada diri kita. Contohnya, dari riwayat orang-orang terdahulu kita mengetahui ada orang yang dijebak oleh syaitan dengan menggunakan perangkap harta. Di zaman Rasulullah ada seorang yang begitu miskin namun rajin mendatangi jamaah Rasulullah SAW. Sedemikian miskinnya orang ini sampai-sampai pakaian untuk sholatnya ia bergiliran dengan istrinya. Karena miskinnya, suatu hari ia meminta Rasulullah SAW mendoakannya agar diberi rezeki. Akan tetapi setelah didoakan Rasulullah SAW dan kemudian menjadi kaya-raya, ia mulai lalai mendatangi jamaah-jamaah Rasulullah dan yang lebih parah ia juga membangkang ketika diminta mengeluarkan zakat!

Harta, inilah salah satu alat yang digunakan oleh syaitan untuk menjerumuskan manusia. Selain harta, kenikmatan-kenikmatan lain juga dapat dimanfaatkan oleh syaitan untuk mengalahkan kita. Perlu diingat, syaitan adalah makhluk yang dulunya berkedudukan sangat tinggi, menurut riwayat menjadi penghulunya malaikat. Hanya gara-gara ia pernah membangkang perintah Allah SWT, ia kemudian dilaknat. Setelah dilaknat, ia bersumpah untuk menggoda manusia semuanya. Ia bersumpah untuk menjerumuskan kita dan tentunya dengan menggunakan segala macam cara.

Contoh lain, dalam sebuah kajian mengenai godaan syaitan dalam melalaikan ibadah sholat, ada dijelaskan bahwa syaitan menggunakan tujuh tingkatan untuk melalaikan kita dalam sholat. Bahkan salah satu pendekatan dalam tingkatan godaan syaitan tersebut adalah dengan menganjurkan kita untuk menyegerakan sholat tetapi kemudian dia tanamkan rasa berbangga di hati pelakunya sebagai orang yang teguh menjaga waktu-waktu sholat. Na’udzubillah. Ya, kita disuruh segera sholat, tetapi nun jauh di sana di dalam hati kita, syaitan menanamkan rasa berbangga telah menjaga sholat di awal waktunya.

Bayangkan, syaitan menggoda kita agar melalaikan sholat justru dengan mendorong kita sholat di awal waktu!

Kembali ke awal renungan kita hari ini, marilah kita nyatakan syaitan sebagai sebenar-benar musuh dan kita ambil pelajaran dari trik-trik yang digunakannya untuk menjerumuskan kita, agar kita dapat waspada dan jangan sampai terjerumus ke dalam tipuan-tipuan syaitan.

Wallahua’lam
Sumbawa, 29 Mei 2002

Art of War
(lanjutan)

Setelah kita meyakinkan diri untuk menyatakan bahwa syaitan adalah sebenar-benar musuh, maka berikutnya kita harus banyak-banyak mewaspadai trik-trik yang telah digunakannya untuk menjerumuskan orang-orang sebelum kita atau strategi yang digunakannya kepada kita. Hal ini berguna agar kita dapat menghindarkan diri agar tidak terjatuh dalam jebakan yang sama.

Selain menentukan musuh sebenarnya, dan mewaspadai trik-trik, senjata dan kekuatan lawan, selanjutnya perlu juga kita menghitung kekuatan yang kita miliki dibandingkan dengan kekuatan lawan. Apabila ternyata musuh sangat tangguh, atau kekuatan kita sangat lemah, maka hal yang cukup bijaksana dilakukan adalah mundur untuk menyusun kekuatan sambil mencari bantuan tambahan kekuatan. Keputusan mundur pada saat musuh terlalu kuat ini pun pernah diambil oleh panglima Khalid bin Walid.

Dalam kasus pertempuran kita dengan syaitan, kebetulan kedua kondisi ini berlaku pada kita. Musuh yang kita hadapi sangat tangguh sedangkan kekuatan yang kita miliki sangat lemah. Bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa syaitan berjalan lewat pembuluh-pembuluh darah kita. Dan Al Qur’an menyatakan bahwa syaitan ini dapat masuk, membisiki keragu-raguan di dalam dada kita (QS An Nas (114). Ini membuktikan alangkah lemahnya pertahanan kita dan alangkah tangguhnya musuh kita.

Salah satu bukti bagaimana ketangguhan trik-trik syaitani dan kelemahan pertahanan kita adalah bagaimana syaitan menggunakan trik yang itu-itu juga untuk melalaikan kita. Apabila di pagi subuh kita mendengar seruan azan, syaitan sering membisiki kita agar kita melanjutkan tidur lima menit saja. Dan yakinlah, bila kita mengikut bujukan syaitan untuk melanjutkan tidur lima menit lagi, siaplah untuk sholat subuh kesiangan! Hebatnya lagi, tidak sedikit orang yang terkena perangkap ini berulang-ulang.

Khusus mengenai senjata syaitan yang digunakan pada saat kita tidur, dalam satu kajian kami pernah mendengar bahwa setiap kali seorang anak manusia berangkat tidur, syaitan memasang tiga belenggu yang masing-masing belenggu berstempel: lanjutkan tidur malam masih panjang! Apabila kita terbangun dan membaca doa, terbukalah satu belenggu tersebut. Tetapi apabila setelah bangun kita kembali duduk-duduk saja, maka Insya Allah kita akan tertidur kembali karena masih ada dua belenggu yang mengikat kita. Kedua belenggu terakhir ini dapat dibuka dengan mengambil air wudhu’ dan sholat.

Masih banyak lagi contoh-contoh yang dapat kita ajukan sebagai bukti tangguhnya syaitan ini menjerumuskan kita. Dan yang lebih mengerikan, tidak ada orang yang terbebas dari jebakan-jebakan syaitan ini. Bahkan ia telah memproklamirkan "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at). (QS. Al A’raf [7]:16-17). Di bagian lain dijelaskan di dalam Al Qur’an pernyataannya yang mempertegas bahwa tidak ada orang yang memiliki fasilitas kebal godaan syaitan: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (QS. Al Hijr [15]:39). Inilah ikrar musuh kita, ikrar yang menyatakan kita semua akan disesatkan tanpa kecuali dari segala arah.

Amma ba’du. Syaitan ini sangat tangguh menjebak kita. Ia memanfaatkan semua ruang untuk menjerumuskan kita. Hanya yang dapat selamat dari jebakannya adalah orang-orang yang ikhlas (QS. Al Hijr [15]:40). Pertempuran ini hanya akan dapat dimenangkan oleh mereka yang ikhlas. Dan satu hal yang perlu diingat, ada kuasa yang berada di atas kuasanya syaitan yaitu kuasa Ilahi. Maka marilah kita banyak-banyak memohon perlindungan kepada Allah SWT, zat yang Maha Perkasa. Karena kalau tidak bisa ikhlas dan tidak berlindung kepada Allah SWT, yakinlah pertempuran ini akan dimenangkan oleh syaitan dan kita akan selalu menjadi pecundang bahkan dengan jebakan yang itu-itu juga.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 30 Mei 2002


Art or War
(lanjutan)

Dalam pertempuran seperti yang sebelumnya telah kita bahas, kemenangan bukanlah sesuatu yang perlu dikaji dengan mendalam. Kemenangan hanya mengharuskan pemenang untuk tidak lupa diri dalam kemenangan yang telah diraihnya yang kemudian dapat menyeretnya ke kelengahan. Akan tetapi yang perlu dikaji secara mendalam adalah kekalahan. Kekalahan inilah yang membutuhkan analisis mendalam mengenai mengapa sampai kalah dan bagaimana sesudah kekalahan.

Akan tetapi menghadapi kekalahan, kebanyakan orang jarang segera bangkit untuk mempersiapkan diri. Yang terjadi adalah sebagian besar orang yang kalah cenderung larut dalam kekalahannya dengan penyesalan yang mendalam, rasa berdosa yang hitam dan menyalahkan diri dengan kasar. Padahal justru setelah kalah lah seseorang harus segera bangkit, mempersiapkan strategi yang lebih matang, senjata yang lebih lengkap, tujuan yang lebih fokus dan niat yang tidak terkotori arogansi. Justru setelah kalah, seseorang harus lebih mempertajam komitmen diri untuk menjalankan petunjuk Ilahi ini:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr [59]:18)

Seseorang yang kalah harus lebih memperhatikan faktor-faktor apa yang telah berlaku sehingga ia bisa kalah yang kemudian akan mengantarkannya ke persiapan yang lebih matang menghadapi pertempuran berikutnya atau dalam istilah ayat ini untuk menghadapi hari esok.

Demikian juga dalam kehidupan ini, kehidupan yang pada hakekatnya mempertahankan diri di jalan kebenaran ini yang juga adalah pertempuran abadi melawan syaitan tidak selalu mulus dalam kemenangan. Ada kalanya sesekali pertahanan kita jebol juga. Terkadang kita kalah dan terjebak dalam perangkap syaitan. Sesekali kekalahan yang kita alami itu besar tetapi lebih sering kita kalah dengan kekalahan-kekalahan kecil. Ini adalah sesuatu yang wajar. Di sinilah berlaku ampunan Ilahi, istighfar menyeluruh. Yang justru tidak wajar adalah orang yang tidak tahu bahwa sebenarnya ia berada dalam atau sedang mengalami kekalahan. Tetapi yang jauh tidak wajar adalah orang yang tidak bisa bangkit dari kekalahan yang dideritanya.

Ada orang yang pada dasarnya ia adalah orang baik, lingkungan mengenalnya sebagai orang yang lurus. Ketika ia melakukan kesalahan, syaitan berhasil mengelabuinya sehingga tanpa disengaja ia terperangkap dalam jebakan syaitan, sekali kalah dalam pertempurannya, ia mendalam menyesali diri. Ia larut dalam kekalahannya dan menerima kekalahan tersebut sebagai nasib yang telah digariskan. Malu berjumpa dengan sesama jamaahnya, malu mendatangi majelis-majelis ibadah dan yang parah ia salah dalam mengaplikasikan malu-kalahnya dengan tidak lagi bermunajat kepada Allah. Syaitan kemudian lebih memperdaya dirinya dengan membisikinya sebagai orang kotor yang tidak pantas lagi mendatangi majelis-majelis Ilahi. Naudzubillah.

Untuk orang-orang yang larut dalam kekalahannya dan salah dalam menyikapi kekalahan yang dideritanya harus diberikan dukungan tanpa henti, dorongan untuk bangkit dan penanaman keyakinan yang lebih mendalam bahwa ampunan Allah tak terhingga batasnya. Bahkan:

(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan):"Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, (QS. Al Mukmin [40]: 7)

Setiap kita tidak luput dari kesalahan. Suatu ketika kita pernah kalah oleh syaitan. Kadang kekalahan itu besar kadang kita mengalami kekalahan kecil. Marilah kita segera bangkit untuk mempersiapkan diri dengan lebih matang. Kita didik diri menjadi hamba yang ikhlas agar kita mendapatkan kemenangan. Sungguh kemenangan ini balasannya adalah surga.

Semoga kita menjadi orang-orang yang menang atau orang yang segera bangkit bila kebetulan mengalami kekalahan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari jebakan, perangkap syaitan laknatullah. Amien.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 2 Mei 2002

Muhasabah

Tanpa terasa ibadah puasa Ramadhan telah lama meninggalkan kita. Kenangan manisnya suasana Ramadhan sudah lama terkikis habis dalam memori kita. Yang tersisa sekarang adalah rasa biasa kembali, tanpa euforia musim ibadah. Hal ini adalah sesuatu yang sudah dianggap kewajaran karena kebanyakan kita masih melaksanakan ibadah musiman. Kita benar-benar sering ‘beribadah’ hanya pada bulan-bulan tertentu, momen-momen tertentu.

Untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak pada rutinitas ibadah musiman semacam ini marilah sekarang kita renungkan tujuan-tujuan ibadah kita, kita banyak-banyak berhitung nilai ibadah yang kita lakukan. Dan karena di awal kita mengingatkan diri mengenai ibadah puasa Ramadhan, marilah kita renungkan. Berhasilkah ibadah puasa Ramadhan kita atau sebaliknya? Sekaranglah waktu yang tepat untuk itu setelah beberapa bulan kita ditinggalkan Ramadhan.

Sebelumnya, sebagai pijakan kita untuk merenungkan kembali, kami ingin menyitir ayat puasa dalam surat Al Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Qs Al Baqarah [2]: 183)

Menurut ayat di atas, tujuan diwajibkannya ibadah puasa Ramadhan adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Logikanya, setelah turun dari sholat idul fitri, kita mestinya meyakinkan diri, bahwa disitulah mulainya penerapan dari latihan kita selama sebulan itu. Sejak kita menapakkan kaki kiri kita keluar masjid atau lapangan tempat diadakannya sholat Idul Fitri kita pasang kalender, grafik turun-naiknya ketakwaan. Mulai dari situlah kita menghitung untuk mengetahui keberhasilan ibadah puasa kita.

Untuk diingat bulan suci Ramadhan adalah bulan latihan tempat menggodok pribadi pribadi beriman agar menjadi pribadi yang bertakwa. Artinya, ibadah puasa di bulan ramadhan itu harus dipandang sebagai madrasah iman, sekolah yang melatih, menggodok iman Islam kita. Pada bulan puasa kita dilatih untuk memperbanyak ibadah kepada Allah, sholat berjamaah, sholat malam (tarawih) memperbanyak mengkaji Al Qur’an, menahan pandangan, amarah, melatih kesabaran dan sebagainya yang kesemuanya merupakan latihan. Diharapkan kita menjadi orang yang terlatih dalam beribadah yang kemudian akan mengantarkan kita meraih predikat orang yang bertakwa. Akan tetapi, latihan latihan ini akan menjadi percuma kalau kemudian pada sebelas bulan berikutnya kita tidak menerapkan hasil latihan ini.

Kalau kemudian sebelas bulan setelah Ramadhan iman kita tidak meningkat, maka bagi yang beruntung, datang lagi kesempatan untuk latihan yaitu Ramadhan berikutnya. Demikian seterusnya. Tapi kan naif sekali, kalau tidak boleh dikatakan rugi sekali, sudah latihan berkali kali justru tingkatan takwanya tidak naik naik.

Justru sekarang setelah beberapa bulan Ramadhanlah baru kita dapat melihat benarkah ibadah puasa kita bisa mengantarkan kita ke derajat takwa. Kalau setelah beberapa bulan ini iman ketakwaan kita meningkat, kita melaksanakan apa yang pernah dulu sebulan penuh kita latih di bulan Ramadhan, maka kita patut bersyukur karena ibadah puasa kita sampai ke tujuannya, yaitu agar kita bertakwa. Tapi kalau justru setelah Ramadhan ibadah kita, ketakwaan kita tidak bisa meningkat, stagnan, maka dapat dikatakan ibadah puasa Ramadhan kita telah gagal.

Sekarang mari kita jujur bermuhasabah, mengevaluasi diri sendiri sebelum kita dievaluasi kelak di akhirat.

Wallahua’lam bishshowab
Sumbawa, 3 Juni 2002

Tawakkal Tanpa Amal

Subhanallah! Maha Suci Allah dan Maha Benar Rasul-Nya.

Anas bin Malik menceritakan bahwa suatu ketika Muadz bin Jabal sedang dalam perjalanan bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba Rasulullah SAW memanggil Muadz sampai tiga kali yang dijawab oleh Muadz dengan Labbaik ya Rasulullah, Labbaik ya Rasulullah. Rasulullah SAW kemudian bersabda bahwa siapa saja yang mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu sesungguhnya Rasul Allah dengan pengakuan yang benar-benar terbit dari hati sanubarinya, maka Allah akan melindunginya dari api neraka.

Mendengar hal ini Muadz kemudian meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan berita ini kepada orang banyak agar mereka gembira. Oleh Rasulullah SAW Muadz ditahan agar jangan menyampaikannya. Rasulullah SAW bersabda bahwa kalau mereka mendengar hal ini mereka akan cenderung tawakkal saja, tanpa amal.

Terakhir dalam hadis ini diceritakan bahwa hanya karena Muadz takut termasuk orang yang menyembunyikan ilmu, kemudian sewaktu mendekati ajal, beliau menyampaikan juga sabda Rasulullah SAW ini. (Sumber: Kitab Sahih Bukhari, jilid I hadis no.91).

Subhanallah! Shadaqallahu wa shadaqa rasuluh! Maha Benar Allah dan Maha Benar Rasul-Nya!

Ikhwan Fillah, kalau kita cermati apa yang diprediksi Rasulullah SAW dapat kita lihat kebenarannya sekarang ini. Dalam hadis ini Rasulullah memprediksikan bahwa orang yang mendengar hadis ini sering mengatasnamakan tawakkal tanpa amal kemudian bersikeras ingin mengambil jatah surga. Sekarang ini banyak orang ‘bergembira’ dengan hadis ini akan tetapi justru salah mengaplikasikan kegembiraan tersebut. Banyak orang yang cenderung bertawakkal saja tanpa beramal!

Padahal sebenarnya yang dibutuhkan oleh pengakuan Allah sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai rasul adalah bentuk kerja nyata. Bagaimana bisa dikatakan mengaku Allah sebagai Tuhan bila untuk menyembah Allah saja tidak mau. Bagaimana bisa dikatakan mengaku Muhammad SAW bila ajaran-ajarannya hanya menjadi pemanis bibir, tanpa amal agama yang dapat dibuktikan. Iman itu ada di hati dan karena itu sangat abstrak, tidak dapat diketahui selain oleh orang yang memiliki hati itu. Sedangkan untuk membuktikan keimanan tidak ada lain selain menunjukkan dengan kerja-kerja yang terukur. Kita tidak bisa hanya mengandalkan hati saja lalu berdalih bahwa kita beriman. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa:

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al Ankabut [29]:2)

Bagaimana bisa dikatakan beriman kepada Allah dan meminta perlindungan hanya kepada-Nya bila diri sendiri masih dipertuhankan, kesombongan masih bersarang di dalam rongga dada. Bukankah yang berhak mengenakan pakaian besar diri hanya Allah. Bagaimana bisa dikatakan beriman kepada Allah bila perintah-perintah-Nya masih ditawar-tawar sedangkan larangan-larangan-Nya digampang-gampangkan.

Kita telah mendengar hadis ini, hadis yang menjanjikan pengharaman neraka bagi orang yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah. Selanjutnya sekarang mari kita pahamkan diri bahwa mengaku saja tidak cukup. Tetapi pengakuan ini membutuhkan bukti yaitu pelaksanaan amal-amal. Bila sebuah pengakuan tanpa disertai bukti maka sudah pasti pengakuan itu akan jatuh pada status mengaku-ngaku. Tentu kita tidak ingin sekedar mengaku-ngaku. Yang kita inginkan adalah pengakuan kita adalah sesuai dengan diri kita sebenarnya. Mari kita berlomba-lomba menunjukkan amal perbuatan agar amal tersebut dapat menjustifikasi bahwa kita benar-benar termasuk kelompok orang yang diharamkan neraka atasnya.

Ya Allah tunjukkanlah kami ke jalan yang benar. Amin.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 4 Juni 2002

Kaum Perusak

Salah satu sifat yang perlu diwaspadai dari beberapa sifat orang munafik yang juga kalau kita cermati merupakan larangan pertama yang kita temukan dalam urutan ayat-ayat qur’an adalah sifat suka membuat kerusakan dalam tatanan kehidupan di muka bumi ini. Allah SWT menjelaskan bahwa orang munafik itu: bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab:"Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" (QS. Al Baqarah [2]:11).

Kalau kita melihat sekilas sifat suka membuat kerusakan ini, kita akan cenderung mengelus dada bersyukur sambil meyakinkan diri sendiri, “Alhamdulillah saya tidak termasuk orang yang memiliki sifat suka membuat kerusakan” hanya karena kita pasif, tidak terlibat aktif dalam bentuk-bentuk kerja yang merusak dan lebih banyak diam tidak mengambil sikap terhadap kerusakan yang dilakukan orang lain. Padahal seandainya disadari, diamnya kita terhadap bentuk-bentuk kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang di dekat kita ternyata juga adalah bentuk pembenaran dari perilaku rusak tersebut. Bukankah Rasulullah SAW menegaskan bahwa apabila kita melihat suatu kemungkaran maka kita harus berusaha mencegah dengan tangan kekuasaan kita. Bila tidak berani dengan tangan, kita disuruh mencegahnya dengan kata-kata. Jadi, diamnya kita terhadap bentuk-bentuk kerusakan ini hendak kita tempatkan di mana? Bukankah diamnya kita ini sama artinya dengan persetujuan terhadap kerusakan yang dilakukan oleh orang lain atau dengan kata lain sebenarnya kita adalah juga perusak, perusak yang pasif?

Kami ulangi sekali lagi. Salah satu sifat orang-orang munafik adalah suka membuat kerusakan dan kemudian berkilah berbuat perbaikan. Sekarang mari kita kembali ambil cermin diri, dan berkaca pada nurani. Bukankah selama ini kita lebih sering diam terhadap kerusakan-kerusakan yang dilakukan oleh orang di sekitar kita. Lalu apa arti diam kita ini, setuju, tidak peduli atau apa?

Kita juga sering beranggapan bahwa kerusakan itu adalah sekedar kerusakan dari sesuatu tatanan yang sudah mapan yang kemudian dihancurkan. Kita sering lupa bahwa kerusakan itu juga adalah keadaan tidak siap dan tidak mau bergerak menuju perbaikan dan membiarkan kondisi ini tetap stagnan. Status quo, tidak bergerak dari suatu posisi yang kurang baik menuju ke posisi yang lebih baik adalah sebenarnya juga bentuk kerusakan. Rasulullah SAW bahkan pernah menegaskan bahwa orang yang hidupnya hari ini sama dengan kemarin adalah orang yang merugi. Dan membiarkan keadaan, diri sendiri, orang-orang di sekitar kita, alam dan semua tatanan kehidupan ini stagnan dalam ketidakteraturan, dalam kekurangan adalah bentuk-bentuk kerusakan terselubung. Kebodohan, keterbelakangan adalah bentuk-bentuk kerusakan lain yang dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan membiarkan kondisi ini dalam bentuknya yang asli sama artinya dengan menjerumuskan diri, terlibat dalam melakukan perusakan tatanan kehidupan.

Di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan, atau bahkan diri kita sendiri masih terbuai dengan kesombongan, merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki sekarang. Apabila kita diam, tidak berusaha mengangkat mereka dan diri kita sendiri menuju perbaikan, menuju ke keluasan ilmu pengetahuan dan kemajuan, maka bisa jadi sebenarnya kita sedang aktif melakukan kerusakan.

Mari kita berusaha menghilangkan kerusakan-kerusakan di sekitar kita, terutama kerusakan pada diri sendiri untuk menunjang perbaikan di muka bumi. Kebodohan pemikiran dan keterbelakangan ilmu pengetahuan adalah contoh-contoh kecil kerusakan-kerusakan tersebut yang dapat dengan mudah kita temukan di sekitar kita. Diamnya kita atas bentuk-bentuk kerusakan ini tanpa berusaha memperbaikinya sebenarnya menunjukkan partisipasi kita dalam memperparah kerusakan tersebut.

Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang mengaku-ngaku berbuat kebaikan di muka bumi padahal sebenarnya adalah orang-orang yang tanpa disadari sebenarnya berstatus penyumbang kerusakan di muka bumi ini.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 5 Juni 2002


Mudahnya Membuat Kerusakan

Di dalam Al Qur’an kita dapati banyak kisah mengenai umat-umat terdahulu yang dapat kita ambil pelajaran untuk kehidupan kita sekarang ini. Salah satu kisah yang disebutkan oleh Allah SWT adalah kisah tentang kaum nabi Musa ‘alaihissalam. Mengenai kaum Nabi Musa ini Allah SWT berfirman:

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun:"Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan". (QS. Al A’raf [7]:142)

Sebelum berangkat untuk berkhalwat kepada Allah di bukit Thursina untuk mendapatkan kitab Taurat, Nabi Musa berpesan kepada pembantunya, tangan kanannya yaitu Nabi Harun agar menggantikannya sebagai pemimpin kaumnya. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah kaumnya justru berbalik dari ajaran ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Musa dan bahkan menjadikan anak lembu sebagai sesembahan. Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah [2]:51)

Ikhwan fillah, di dalam riwayat kita dapati bagaimana kerasnya Nabi Musa ‘alaihissalam berjuang untuk mengajak kaumnya menyembah Allah, Tuhan yang Esa. Karena beratnya perjuangan beliaulah, maka Allah SWT menganugerahkan kepada beliau nikmat yang besar dimasukkan dalam golongan Ulul Azmi, lima orang nabi pilihan. Akan tetapi kerja keras beliau, jerih payah beliau hancur berantakan karena kaum yang beliau didik dengan ajaran ketauhidan berbalik meninggalkan ajaran tersebut hanya dalam waktu empat puluh hari. Kaum Nabi Musa menjadikan anak lembu sebagai sesembahan yang jelas berarti menyekutukan Allah sebagai sesembahan. Inilah seburuk-buruk penyekutuan.

Dari kisah kaum Nabi Musa di atas kita dapat mengambil pelajaran, alangkah mudahnya kita merusak sesuatu yang telah kita bangun dengan susah payah. Dalam kisah umat Nabi Musa ini, waktu yang dibutuhkan menghancurkan keyakinan hanyalah empat puluh hari. Dalam masa kita mungkin kurang dari itu. Hitungan waktu menjadi tidak berarti bila keingkaran telah bersarang di dasar hati. Dan apa saja hanya membutuhkan waktu yang jauh lebih pendek untuk merusaknya dibandingkan waktu yang panjang dan susah payah untuk membinanya. Termasuk iman yang telah kita tanam, kita pelihara, telah bersusah payah kita pertahankan bisa rusak gara-gara dalam hitungan satu kedipan mata tergoda bujuk rayu syaitan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Dan benar, apa yang telah kita pertahankan dengan susah payah dapat rusak hanya dalam waktu sekejap. Dan usaha kita ini, usaha untuk mempertahankan kebaikan ini akan menjadi sia-sia. Dan kita tentu saja tidak ingin menjadi orang yang pertahanannya sia-sia.

Iman keyakinan ini adalah sesuatu yang perlu dipertahankan. Usaha mempertahankannya adalah usaha yang berat terutama di tengah kondisi kita yang seperti ini. di tengah-tengah hutan, tanah yang gersang terisolir dari peradaban masyarakat sebenarnya, tetapi dengan segala fasilitas kemudahan. Godaan untuk merusak keyakinan dari semua fasilitas yang ada, akses internet, email, tv channel dll. bisa dengan mudah memperdaya kita. Dan semua ini dapat dengan mengajak ke kerusakan pertahanan iman dan dalam waktu yang sangat singkat.

Di tengah kondisi seperti ini perjuangan mempertahankan keyakinan adalah usaha yang sangat berat. Yang mampu bertahan hanya orang-orang yang benar-benar mendapatkan bimbingan dari Allah. Marilah kita selalu memohon agar kita tetap mendapatkan kekuatan untuk mempertahankan indahnya dalam golongan orang beriman.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 6 Juni 2002

Kedamaian Dalam Al Qur’an

Kalau kita perhatikan berita-berita sekarang ini, ada suatu kondisi yang menarik pada keislaman kita, menarik dan sekaligus memprihatinkan. Sekarang ini umat Islam di mana saja sedang dalam cobaan berat. Di barat, di timur, utara, selatan di mana saja Islam sedang dilanda cobaan. Berat dan menyedihkan. Tetapi di tengah cobaan yang sedemikan berat terhadap Islam, penindasan ketidakadilan terhadap agama dan umat Islam, dan juga di tengah kondisi keumatan kita yang sudah parah justru semakin banyak orang yang tertarik bahkan kemudian masuk Islam. Setelah diselami, ternyata para muallaf itu masuk Islam bukan karena tertarik dengan perilaku umat Islam. Tetapi mereka tertarik masuk Islam justru karena keagungan dan kehebatan Al Qur’an. Kondisi ini ironis sekali bila dibandingkan dengan kita yang sudah, Alhamdulillah, lebih dahulu - bahkan terlahir - Muslim. Kita sedikit sekali berinteraksi dengan Al Qur’an ini.

Mungkin kita akan bertanya mengapa seperti ini. Di akhir surat Al Fath Allah SWT menjelaskan:

... lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat taqwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Fath [48]:26).

Subhanallah.

Kalau kita renungkan ternyata ketenangan, kedamaian inilah yang menyebabkan banyak orang bepergian ke seluruh penjuru dunia, lokasi-lokasi wisata, tempat-tempat yang diiklankan dapat memberikan kedamaian. Devisa dibayarkan, dolar-dolar dihamburkan, lokasi-lokasi baru dibuka yang terkadang tempatnya di puncak bukit, di pinggir pantai di tengah-tengah hutan dan sebagainya yang kesemuanya bermuara di satu kata: kedamaian. Akan tetapi Allah SWT menjelaskan bahwa Dialah yang menurunkan kedamaian di dalam hati orang-orang mukmin. Salah satu hadis mengatakan bahwa ada empat manfaatnya bagi kita apabila kita berinteraksi dengan Al Qur’an, selain diturunkan rahmat dan disebut-sebut nama kita di depan penghuni langit juga adalah diturunkannya kedamaian di dalam hati kita, orang yang membacanya. Ya, membacanya, membaca Al Qur’an akan mendatangkan kedamaian itu di dalam hidup kita.

Salah seorang muallaf yang kemudian banyak menulis buku keislaman, Jeffry Lang, sewaktu ditanya apakah mengerti dengan bacaan yang dibacanya itu (Al Qur’an) ia mengatakan tidak sepenuhnya mengerti. Tetapi dengan membacanya ia merasa damai persis seperti damainya seorang bayi yang dininabobokan oleh merdu suara kasih sayang ibunya.

Jadi kalau kita inginkan kedamaian, tempatnya bukan di lokasi-lokasi wisata dengan mengeluarkan biaya yang mahal. Kedamaian itu ada di dalam Al Qur’an.

Tapi ya itu tadi. Orang banyak yang tertarik ke Islam karena mereka mendapatkan keagungan Al Qur’an. Kondisi ini sangat berbeda dengan kita yang sudah lebih dahulu berislam. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kita kondisi kita yang sudah lebih dahulu berada di dalam Islam. Ghirah, semangat berinteraksi kita dengan Al Qur’an hanyalah semangat hura-hura yang ditandai dengan piala-piala dan perayaan-perayaan tanpa berusaha mendapatkan kedamaian petunjuk di dalamnya. Astaghfirullah.

Sebelum terlambat, mari kita baca, pahami, amalkan Al Qur’an. Insya Allah di situ ada kedamaian.

Wallahua’lam bishowab
Sumbawa, 10 Juni 2002

Munajat (Rindu Rasul)

Alangkah rindunya kami kepadamu, ya Muhammad. Ingin kami belajar banyak, kursus kepadamu mengenai cara-cara yang engkau tempuh sehingga engkau dapat membalik kondisi umat yang sebelumnya jahiliyah, bodoh, barbar sampai tega membunuh bayi-bayi perempuannya, generasi terlupakan dan tidak diperhitungkan menjadi kaum yang besar, penakluk dan ikhlas. Engkau berhasil membentuk mereka menjadi generasi Robbani yang, Subhanallah, generasi yang begitu hebat sehingga dikatakan sebagai generasi terbaik hanya dalam waktu sekitar dua puluh tahun. Ini yang ingin sekali kami pelajari darimu, ya Muhammad. Makanya kami rindu sekali, ingin bertemu, ingin belajar banyak darimu, rindu sekali, terutama di tengah masyarakat yang sedang carut-matur seperti ini, masyarakat yang hampir-hampir mirip dengan atau bahkan melebihi bobroknya masyarakat yang dulu pernah engkau hadapi.

Hai, hati siapa yang tak kan terharu bila mengingat bahwa kaum yang engkau bina sebelumnya adalah kaum yang bermusuhan, saling bunuh tetapi kemudian mereka disatukan dengan satu kalimat tauhid, lailaha illallah, tiada tuhan selain Allah. Rindu siapa yang tak mengharu bila kejayaan dunia berada di genggaman mereka tetapi juga keikhlasan persaudaraan memancar tanpa keangkuhan. Merekalah hasil didikanmu wahai Muhammad, tentara yang dikirim perang yang dapat berbusung dada dalam kerendahan hati tanpa kesombongan sambil panglima mereka memuji bahwa mereka seperti singa di siang hari tetapi seperti rahib di malam hari. Merekalah hasil didikanmu yang berjuang mempertaruhkan nyawa menghadapi musuh di tengah alam yang keras tetapi mampu bangun di tengah malam bermunajat kepada Ilahi. Kami di sini bukan berperang bukan pula di tengah alam yang ganas, bekerja di tengah berbagai fasilitas kemudahan dan dapat beristirahat dengan tenang tanpa kekhawatiran tiba-tiba diserang, tetapi justru begitu sulit untuk sekedar bangun malam bahkan subuh pun sering kesiangan.

Ya Muhammad, bagaimana kami bisa seperti mereka? Apa yang engkau ajarkan kepada mereka?

Wahai, alangkah tersentaknya kami ketika kami menyadari bahwa engkau katakan telah meninggalkan kepada kami dan kepada orang-orang semuanya dua warisan , dua pegangan sebagai bahan pelajaran agar bisa terbentuk generasi seperti generasimu. Engkau bahkan nyatakan kedua warisan ini akan membimbing sampai pada tujuan dan tidak akan sesat siapa saja yang mau berpegang kepadanya. Ya, sekarang kami sadar ternyata memang engkau meninggalkan warisan yang sangat besar. Ternyata, kami saja yang tidak pernah mendalami peninggalanmu itu, Ya Muhammad. Maafkan kami atas kelalaian kami selama ini. Terkadang kami memang membacanya tanpa pernah berusaha memahami maksudnya. Maaf, maafkan kami, ya Muhammad.


Hanya, ya kami memang terkadang merasa rindu bertemu, ingin belajar, bertemu langsung denganmu. Kami merasa bahwa sekarang ini yang sangat kami butuhkan adalah pemimpin yang dapat kami tauladani tanpa plin-plan. Kami temukan dalam pribadimu yang bersahaja terkumpul sifat-sifat kepemimpinan yang dapat mengeluarkan kami dari keterbelakangan seperti sekarang ini. Kami tidak pernah menjadi tuan atas diri kami sendiri tetapi selalu menjadi budak bahkan oleh nafsu keserakahan kami. Dunia yang memperdaya, status jabatan dan necisnya pakaian selalu saja menyibukkan kami untuk sekedar berbagi senyum, berbagi salam dengan saudara-saudara kami. Berbangga-bangga dengan kekayaan dan menghitung-hitung simpanan bunga bank, telah menyebabkan dahi kami berkerut dan hari-hari kami dipenuhi hitungan-hitungan rugi laba, hilang kepedulian kepada sesama. Bahkan kebesaran jabatan kami, kemegahan fasilitas hidup kami telah melalaikan untuk sekedar bersujud memuji kebesaran Ilahi. Lingkaran rukuk sujud sholat kami seringkali hanyalah ibadah rutin, gersang tanpa keikhlasan.

Kami rindu kepadamu, Ya Muhammad. Kami ingin menjadi sebenar-benar pengikutmu yang kelak di akhirat engkau akui sebagai pengikutmu.

Sumbawa, 10 Juni 2002

Menghitung Amal Diri

Hasibu anfusakum qabla antuhasabu, hitunglah amalmu sendiri sebelum dihitung.

Di dalam hidup ini, salah satu pekerjaan mulia yang cukup sulit dilakukan adalah menghisab, menghitung-hitung amal perbuatan diri sendiri. Kita lebih sering melakukan hal yang lebih gampang yaitu menghitung amal perbuatan orang-orang di sekeliling kita. Kita lebih banyak menghitung-hitung perbuatan orang lain yang celakanya sering dilanjutkan dengan mencari-cari kesalahan perbuatan, hasil kerja maupun ibadah orang lain tersebut sekedar memuaskan nafsu kita untuk membesarkan diri sendiri. Narsisisme, pemujaan terhadap diri sendiri secara tidak sengaja kita biarkan tumbuh subur bersemayam di dalam diri. Padahal kalau dibiarkan, cepat atau lambat sifat egosentris, menganggap diri sendiri sebagai titik pusat akan semakin dominan. Semua yang hebat adalah aku dan orang lain adalah tempat yang pantas untuk setiap kekurangan.

Sifat membesarkan diri sendiri ini akan mudah terlihat apabila sudah terbentuk dalam perilaku. Tentu saja perilaku ini berbahaya, membahayakan iman Islam. Akan tetapi sebenarnya yang lebih berbahaya adalah perasaan besar diri yang diam-diam, tak terlihat dan tak terucapkan. Nun jauh di dalam hati, kita sering membenarkan diri sambil menunjukkan kesalahan dan kekurangan orang. Juga dengan cara diam-diam tak terucapkan. Sungguh perilaku membesarkan diri baik terang-terangan dalam kesombongan atau dengan diam ini menyebabkan kita mudah terkena sindirian oleh ungkapan kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Inilah hati yang sedang bermaksiat kepada Allah.

Mungkin suatu ketika kita kebetulan mendapatkan kesempatan melakukan hal yang sama dengan salah seorang rekan kita. Setelah sama-sama menyelesaikan kerja tersebut maka secara naluri kita akan cenderung ‘mengangkat-angkat’ hasil kerja kita. Ini mungkin masih dalam batas kewajaran. Yang tidak wajar kemudian adalah perasaan yang lebih jauh mengikuti jebakan syaitan untuk merendahkan hasil kerja rekan tersebut. Yang lebih lucu lagi, kalau pun ternyata hasil kita lebih buruk dari hasil rekan kita itu, kita akan berusaha mencari pembenaran diri, menyalahkan sana-sini. Seringkali perilaku kita persis seperti orang yang menyalahkan cermin gara-gara buruk muka sendiri.

Shahabat Umar bin Khattab radiallahu ‘anhu, semoga Allah meridhoinya, suatu kali pernah memberikan panduan untuk hal ini dengan ungkapan yang terkenal Hasibu anfusakum qabla antuhasabu. Atau dengan bahasa kita sekarang kita diharuskan banyak-banyak mengoreksi diri sendiri sebelum datang hari penghitungan, hari berbangkit, hari di mana amal-amal kita akan dihitung oleh zat yang Maha Adil.

Sebagai sebuah jalan hidup, Islam sangat memperhatikan hal ini. Bahkan perilaku yang mengangkat-angkat diri sendiri, takjub terhadap keakuan sendiri ini dimasukkan dalam kategori dosa. Inilah ujub, merasa heran dan takjub pada diri sendiri. Dan perilaku berikutnya, yang membesarkan diri sendiri kemudian menganggap kecil orang lain adalah takabur. Takabur dan sombong ini adalah perilaku syaitan dan perilaku Fir’aun beserta pembesar-pembesar kaumnya (Qs. Al Mukminun [23]: 46).
Obat mujarab untuk hal ini adalah kesadaran bahwa predikat besar dengan segala kemahabesarannya hanyalah pantas disandingkan kepada zat pemilik kebesaran itu. Predikat besar hanyalah milik Allah. Demikian juga yang pantas dibesarkan dengan segala kebesaran hanyalah Allah. Inilah kesadaran yang harus secara mendalam ditanamkan di dasar hati. Dan kesadaran ini baru bisa tumbuh apabila kita sudah benar-benar berhasil mendirikan sholat. Karena ibadah sholat adalah manifestasi penghambaan diri di hadapan zat yang Maha Besar. Allahu Akbar, Allah Maha besar dan sungguh hanya Allahlah yang pantas menyandang sifat-sifat kebesaran.

Terakhir, Allah SWT mengkritik orang-orang yang suka membesar-besarkan diri, berjalan di muka bumi dalam kesombongan, menganggap orang lain tempat bersarangnya kesalahan dan lain-lain sifat sombong, dengan ungkapan yang sangat menggelitik kesadaran kita. Allah menegaskan bahwa sebagaimanapun tingginya kita, sekali-kali kita tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Isra’ [17]:37)

Marilah kita banyak-banyak melihat kembali diri sendiri, menghisab diri sendiri untuk menghindari diri agar jangan terjebak dalam sifat-sifat ujub, takabur, membesarkan diri sendiri dan kemudian mengecilkan orang lain.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 12 Juni 2002

Dan Hidup adalah Perjalanan menuju Ilahi

Di dalam banyak ayat, Al Qur’an menggambarkan hidup ini sebagai sebuah perjalanan, yang tiada akhir dari perjalanan itu selain kembali kepada Allah SWT. Dengan sangat logis manusia diumpamakan sebagai musafir dan dunia ini adalah tempat persinggahan yang hanya sementara. Tujuan akhir dari perjalanan panjang ini adalah bertemu dengan Allah SWT. Allah SWT menegaskan bahwa ‘... Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya’ (QS. Al A’raf [7]:29). Inilah perjalanan yang dimulai dari penciptaan oleh Allah dan berakhir pada titik pertemuan dengan Allah.

Setiap kita Insya Allah pernah melakukan perjalanan, baik perjalanan dengan jarak dekat maupun perjalanan jarak jauh. Hal penting di dalam persiapan perjalanan adalah keberadaan bekal. Semakin jauh jarak yang ditempuh, maka bekal yang harus dipersiapkan pun mestinya semakin banyak. Tidak terkecuali dengan perjalanan kita ini, perjalanan hidup yang titik akhirnya adalah pertemuan dengan Allah.

Disadari atau tidak, dengan pengetahuan mengenai konsep hidup sebagai perjalanan ini, banyak orang berusaha mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Orang yang beranggapan bahwa akhir kehidupan juga membutuhkan materi cenderung akan berusaha mengumpulkan bekal berupa materi sebanyak-banyaknya. Sementara orang lain ada yang beranggapan bahwa bekal untuk mencapai tujuan perjalanan ini adalah hubungan baik, koneksi. Atas kesadaran seperti ini, mereka berlomba-lomba membangun hubungan yang diyakininya dapat mempermudah perjalanan hidupnya. Demikian juga ada yang beranggapan bahwa bekal yang paling pantas dalam perjalanan ini adalah nama besar. Untuk orang-orang seperti ini, mereka akan selalu berusaha memperbesar nama yang disandangnya.

Akan tetapi, semua bekal-bekal di atas belumlah dianggap sebagai bekal yang sesungguhnya untuk perjalanan menuju Allah. Allah SWT menegaskan bahwa justru sebaik-baik bekal adalah takwa.

Sekarang mari kita coba renungkan sejenak. Bayangkan bahwa kita akan menempuh perjalanan yang belum pernah kita lalui sebelumnya. Selain melewati rute yang tidak kita kenal, lama waktu tempuhnya pun tidak ada gambaran dalam pikiran kita, entah sampai dalam satu hari, satu pekan, satu bulan, satu tahun atau sepuluh tahun kita tidak tahu. Bahaya apa yang bakal kita hadapi pun belum ada terlintas dalam benak kita. Benar-benar perjalanan yang akan kita lakukan ini adalah perjalanan dalam kesendirian. Ada memang orang-orang yang akan menemani dalam perjalanan ini, yaitu orang-orang yang kita cintai. Tetapi pertemanan yang diberikan oleh orang-orang itu kita tahu hanyalah bersifat sementara. Mereka bahkan hanya akan mengantar kita sampai depan pintu gerbang fase perjalanan berikutnya yaitu sampai di depan pintu kubur saja. Sedang sisa perjalanan berikutnya akan kita tempuh dalam kesendirian. Karena itu, kita bagaimana pun harus mempersiapkan bekal untuk perjalanan ini. Sendiri dan sendiri.


Khusus untuk fase perjalanan di alam kubur, Rasulullah SAW pernah memberikan keterangan bahwa sebenarnya perjalanan ini akan bertemankan amal-amal selama kita singgah di dunia ini. Amal keburukan akan menjelma menjadi teman berburuk muka berbau busuk. Sedangkan amal kebajikan, atau dalam istilah Al Qur’an, takwa kita akan menjelma menjadi kawan dengan penampilan yang rupawan dan tutur kata yang sopan. Alangkah bahagianya selama dalam perjalanan bertemankan orang yang menyenangkan. Untuk orang-orang yang memiliki banyak bekal kebajikan, perjalanannya adalah perjalanan yang menyenangkan bahkan kematiannya pun laksana tidurnya pengantin baru.

Sekali lagi, dalam perjalanan hidup ini, perjalanan kembali kepada Allah ini sebaik-baik bekal adalah takwa. Jadi mari kita perbanyak-banyak bekal kita dengan meningkatkan ketakwaan kita. Tiada lain pilihan yang dapat kita ambil selain bertakwa. Karena kalau tidak, kita harus berangkat memulai perjalanan bertangan kosong tanpa bekal.

Hai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 12 Juni 2002

Memahami Hidup

Masalah bisa kita definisikan sebagai suatu keadaan di mana apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dan di dalam kehidupan ini siapa pun kita pasti pernah mengalami keadaan ini. Setiap kita pasti pernah mengalami keadaan di mana harapan-harapan kita seperti membentur tembok-tembok kenyataan yang kejam. Dan harapan seringkali menjadi mimpi-mimpi yang menyesakkan. Cobaan datang silih berganti dan kegagalan selalu membayangi langkah-langkah diri. Pikiran dipenuhi tanda-tanya dan kegelisahan yang menghimpit dada. Dan sekali lagi, dalam hidup yang selalu bergerak ini, tidak ada orang yang imun, bebas dari masalah hidup dan kehidupan.

Menghadapi masalah dan cobaan hidup, banyak ragam sikap yang ditunjukkan oleh orang yang mengalami masalah ini. Bagi orang yang masih memiliki pegangan iman dan pandangan jauh ke depan, masalah dan cobaan dapat dipandangnya sebagai ujian yang akan dihadapinya dengan kesabaran dan kemudian akan mengantarkannya menjadi hamba yang lulus dalam cobaan kehidupan. Untuk orang-orang seperti ini, Allah SWT menegaskan bahwa ‘mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk’ (QS. Al Baqarah [2]:157)

Akan tetapi tidak sedikit orang yang justru tidak dapat menerima cobaan berupa masalah ini, tidak dapat menghadapi masalah yang menimpa mereka. Stress berlebihan dan salah pelarian membuat mereka semakin terpuruk dalam kubangan masalah yang tak terpecahkan. Mereka akan semakin sulit keluar dari cengkeraman masalah yang dihadapinya. Sikap mereka telah melahirkan masalah baru di atas masalah lama. Ini membuat mereka semakin terpuruk. Yang lebih parah kemudian, banyak di antara mereka yang menghujat Tuhan. Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan kasih sayang tak terhingga mereka anggap tidak adil karena menimpakan masalah yang bertubi-tubi dan tak terpecahkan.

Padahal sebenarnya, kalau mau sedikit merenung dengan hati dingin tanpa emosi berlebihan dan mengedepankan sabar untuk dapat berpikir dengan dada lapang, maka kita akan temukan bahwa hidup ini persis seperti rajutan sulaman. Kadang-kadang karena ketidakpahaman kita terhadap keinginan si tukang sulam, tidak paham mengenai pola apa yang sedang dibuatnya, sewaktu belum jadi dan kebetulan menemukan warna-warna gelap, kita akan cenderung protes. Kita anggap si tukang sulam tidak adil karena menempatkan warna-warna yang salah. Ini semata-mata karena keterbatasan pengetahuan kita tentang desain dan materi sulaman. Seandainya pengetahuan kita sama dengan pengetahuan si tukang sulam, mungkin kita tidak akan terlalu banyak protes. Sayangnya kita tidak mengetahui desain apa yang sedang dibuat oleh si tukang sulam ini. Baru setelah jadi, setelah kita dapat melihat barulah kita mengakui keindahan sulaman itu.

Demikian juga hidup ini. Warna-warna hidup tidak pernah seragam tetapi selalu berubah-ubah. Berbagai warna menyatu dan membentuk susunan yang saling melengkapi. Ada kalanya yang lebih dominan warna bahagia, tetapi seringkali warna yang diselipkan adalah warna-warna duka. Di sinilah dibutuhkan suatu keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT sedang menghiasi sulaman hidup kita dengan warna berbeda-beda untuk mempertegas keindahan hasil sulaman pada akhirnya.

Pemahaman yang perlu ditanamkan dalam menghadapi hidup ini adalah pemahaman bahwa apa saja yang ditentukan oleh Allah itulah yang terbaik bagi kita. Inilah husnodzon, berbaik sangka terhadap apa saja ketentuan Ilahi. Cobaan dan masalah mengharuskan kita untuk bersabar dan berbaik sangka bukan menyesali bukan pula berputus asa.

Yakinlah bahwa Allah SWT tidak membebani seorang hamba melainkan sesuai dengan kesanggupan hamba tersebut untuk menanggungnya (QS. Al Baqarah [2]:286). Bahkan melihat pernyataan Ilahi ini, seharusnya kita dapat berbangga dengan beratnya cobaan yang kita hadapi. Itu artinya Allah SWT masih menganggap kita mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang dibebankan kepada kita.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir (QS. Al Baqarah [2]:286). Amien

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 13 Juni 2002

Identitas Islam

Dewasa ini, di tengah kehidupan yang sangat pluralis seperti ini, di tengah pergaulan hidup yang sudah demikian heterogen, suatu identitas yang menunjukkan keislaman seseorang sangat sulit untuk kita tentukan. Seandainya kita beranggapan bahwa kita dapat membedakan orang Islam atau bukan dari pakaiannya, kita akan salah sekali karena sekarang ini lebih banyak orang menggunakan atribut yang sama. Contoh kecil, bila suatu ketika kita berkesempatan melihat acara keagamaan penganut agama lain, dengan, maaf, pakaian kebaya tembus pandang bagi kaum perempuannya, coba bandingkan dengan acara resepsi pernikahan sebagian saudara kita yang pernah kita hadiri. Pakaian yang mereka kenakan, kebanyakan persis sama yaitu kebaya ketat tembus pandang. Bila kita beranggapan bahwa kita bisa membedakan seorang Islam atau bukan dari jenggot yang dipelihara dengan mencukur kumis bagi laki-laki, maka coba tengok acara musik anak-anak muda di stasiun tv. Yang tren sekarang di dunia entertainment justru adalah model cukur kumis dan pelihara jenggot! Jangan kira mereka melakukan itu untuk mengikuti sunnah. Justru banyak di antara mereka yang non-muslim.

Jadi sekarang yang bagaimana yang membedakan seseorang penganut Islam atau bukan?

Banyak. Sebenarnya banyak yang bisa kita jadikan identitas keislaman kita. Salah satu identitas yang sudah digariskan oleh Rasulullah SAW adalah sholat. Ibadah sholat inilah yang bisa membedakan seseorang penganut Islam atau bukan. Tetapi kita hanya akan bisa melihat keislaman seseorang melalui sholat pada waktu sholat tiba. Yang lebih kita butuhkan adalah identitas dalam keseluruhan siklus hidup.

Kita membutuhkan identitas Islam secara menyeluruh. Jadi yang perlu kita lakukan adalah memberikan warna pada seluruh aktivitas kehidupan kita dengan warna-warna Islami. Bagaimana mau dikatakan Islam bila cara berpikir, cara bertindak, cara makan, cara bergaul dengan sesama dan lain-lain kegiatan dalam keseluruhan siklus hidup kita jauh dari nilai-nilai Islam. Bagaimana bisa seseorang dikatakan beriman bila sholat yang dikerjakannya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji, menyakiti orang lain misalnya dan perbuatan mungkar, melanggar larangan-larangan Ilahi.

Kaffah, menyeluruh, itulah kuncinya. Identitas Islam tidak bisa kita tampilkan sepotong-sepotong dalam fragmen-fragmen tertentu hidup kita. Yang banyak terjadi sekarang kan, orang hanya berislam sewaktu masuk dalam episode ketika berperan sebagai hamba Allah di dalam masjid. Setelah keluar dari masjid, peran yang dilakoninya bukan lagi beridentitas Islam. Islamnya tidak dapat dia pertahankan. Seseorang mengucap persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah hanya sewaktu dalam acara pernikahannya. Masalah kemudian keluarganya dibangun dalam landasan Islam, apakah anak-anak yang dilahirkan kemudian mendapatkan pengajaran Islam dari orang tuanya dan seterusnya masa bodoh. Lisannya tidak terdidik dengan identitas Islam. Maka seringkali meluncurlah kalimat-kalimat kasar dari lisannya, kalimat-kalimat sumpah-serapah. Sholat ya sholat, tetapi ketika ada undangan acara dari atasan, misalnya, yang didahulukan adalah toleransi. Gara-gara atasan atau rekan-rekan yang lain minum minuman keras, yang dikedepankan adalah solidaritas kawan sekerja bukan lagi Islamnya.

Jangan mengaku Islam bila hanya mengandalkan sholat saja sementara pola pikir yang diusung adalah pola pikir jahiliyah, pakaian yang dikenakan adalah pakaian kesombongan dengan aurat dibiarkan berkibar, makanan minuman yang dikonsumsi adalah makanan minuman calon penghuni neraka.

Identitas Islam itu ada di keseluruhan hidup kita. Kita harus berani menunjukkan diri sebagai seorang Muslim tanpa malu-malu di depan atasan kita, di depan rekan sekerja kita dan terutama kita harus menunjukkan diri Muslim di depan diri kita, hati nurani kita. Kitalah yang paling berhak mengoreksi diri, Islamkah cara hidup saya, Islamkah pergaulan saya, sesuai dengan ajaran Islamkah pakaian dan makanan saya, Islamkah keluarga saya dan seterusnya, dan seterusnya.

Mari kita tunjukkan bahwa kita umat Islam tanpa malu-malu.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 14 Juni 2002

Generasi Pelurus

Pada malam pengajian pekanan dengan pemateri Ust. KH. Mahalli Fikri Jum’at kemarin ada dua pernyataan menarik yang disampaikan oleh dua orang berbeda tetapi mengusung makna yang sama. Kedua pernyataan ini sangat patut menjadi renungan kita bersama. Pernyataan yang kami maksud adalah pernyataan yang disampaikan oleh pemateri sendiri dan pernyataan oleh salah seorang peserta pengajian dari barisan belakang. Ust. Mahalli Fikri menggelitik kesadaran kita dengan ungkapan ‘sekarang ini kita lebih sering membenarkan kebiasaan. Padahal yang seharusnya berlaku adalah membiasakan kebenaran.’ Dan mendukung pernyataan yang disampaikan oleh pemateri, seorang jamaah pengajian bergumam di barisan belakang bahwa hal ini disebabkan karena kita telah memberi predikat pada diri sendiri sebagai generasi penerus, yang seharusnya kita menjadi generasi pelurus. Nah!

Mendengar kedua pernyataan yang sarat makna ini, kita sepatutnya mengambil cermin diri dan mengoreksi dengan hati nurani tanpa kesombongan berapologi apalagi membela diri. Kalau kita melirik ke dalam diri sendiri ternyata memang kita terlalu sering menganggap suatu perbuatan sebagai sebuah kebenaran gara-gara perbuatan itu adalah kebiasaan yang berlaku di tempat kita. Yang lebih parah kemudian kita sering menganggap hal itu sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diubah. Bahkan perlawanan terhadap perubahan begitu kuat kita berikan bila ada yang mencoba mengusik kebiasaan kita.

Sekarang coba dengan jujur kita perhatikan kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan, terutama kebiasaan ritual keagamaan, atau yang kita anggap sebagai ritual kita. Seberapa banyak kita melakukan hal itu hanya ikut-ikutan tanpa tahu landasan ilmunya? Atau seberapa banyak kita mengetahui pedoman terhadap perbuatan yang menjadi kebiasaan kita itu? Punya landasankah kebiasaan-kebiasaan kita atau justru sekedar ikut-ikutan?

Allah SWT mengajukan sebuah pertanyaan sindiran bagi orang-orang yang hanya bertindak semata-mata mengikuti perilaku nenek-moyang mereka tanpa pernah secara obyektif mencoba melihat secara kritis bahkan cenderung meneruskan kebiasaan-kebiasaan itu tanpa ada keinginan untuk mempertanyakan keabsahannya. Inilah pertanyaan kritis yang patut menjadi pegangan kita terhadap perilaku kebiasaan yang kita lakukan. Allah SWT mengajukan pertanyaan apakah kita akan tetap mengikuti juga perbuatan pendahulu kita walaupun ternyata mereka mengada-ada, membiasakan suatu perbuatan tanpa dasar.

Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab:"(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". (QS.Al Baqarah [2]:170)

Berat memang mengubah sebuah kebiasaan apalagi yang telah terlanjur mendarah-daging sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran. Tetapi yang lebih berat adalah menanggung malu bila ternyata kebiasaan yang sudah kita anggap bahkan kita dengung-dengungkan sebagai sebuah kebenaran ternyata adalah perbuatan tanpa dasar bahkan mengada-ada hanya gara-gara kita tidak pernah kritis terhadap perilaku yang dibiasakan itu.

Di satu sisi memang tidak salah kita meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang kita jumpai dari orang-orang pendahulu kita. Hanya kita mesti mengetahui bahwa yang kita teruskan itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang berdasar bukan kebiasaan hura-hura, serampangan tanpa pegangan. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita berusaha mengubah suatu kebiasaan yang sekedar ikut-ikutan, membuangnya dan menggantinya dengan membiasakan sebuah kebenaran.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi umat yang berilmu. Kebiasaan dalam hidupnya pun harus dilandaskan pada pengetahuan, bukan ikut-ikutan. Hanya sayangnya, kebanyakan kita sekarang sudah merasa aman dengan sekedar menjadi pengikut, bahkan untuk urusan yang tanpa dasar.

Mari kita didik diri kita, keluarga kita, saudara-saudara kita anak keturunan kita untuk selalu bertindak dengan ilmu pengetahuan.

Wallahua’lam
Sumbawa, 17 Juni 2002

Memperbaiki Hubungan Silaturrahim

Islam mengajarkan kepada umatnya empat pedoman yang harus menjadi pegangan untuk kesempurnaan silaturrahim, mempererat hubungan dengan sesama. Keempat hal ini masing-masing terdiri dari dua hal yang harus selalu diingat dan dua hal yang harus segera dilupakan.

Hal pertama dari dua hal yang perlu diingat tersebut adalah kita harus banyak-banyak mengingat kebaikan yang diberikan oleh orang lain kepada kita. Yang kedua adalah kita perlu mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan terhadap orang lain. Sedangkan dua hal yang harus segera kita lupakan adalah pertama kita harus segera melupakan kebaikan yang pernah kita berikan kepada orang lain. Yang kedua adalah kita harus segera melupakan kesalahan yang kebetulan dilakukan orang lain kepada kita.

Dengan mengingat kebaikan orang lain kita akan menjadi orang yang banyak berterima kasih. Sikap ini lebih jauh akan memunculkan kesadaran balas budi, membalas dengan yang lebih baik atau paling tidak memberikan kebaikan yang sepadan dengan kebaikan yang telah kita dapatkan. Masing-masing pribadi kemudian akan berusaha menjaga hubungan baik yang telah terjalin karena mereka merasa mendapatkan manfaat dari hubungan tersebut. Sedangkan yang kedua, mengingat kesalahan-kesalahan kita terhadap orang lain akan memunculkan sikap hati-hati, waspada agar tidak mengulang kesalahan tersebut. Rasa rendah hati tanpa kesombongan akan menghiasi perilaku kita karena kita menyadari ternyata kita sama dengan orang lain, tidak sempurna bahkan memiliki banyak kesalahan. Hal ini kemudian bisa mencetak pribadi yang bisa bersikap jujur, sportif dan kemudian banyak-banyak mengakui kesalahan dan berani meminta maaf.

Sedangkan dua hal yang perlu segera dilupakan adalah kebaikan kita dan kesalahan orang lain. Melupakan kebaikan yang telah kita berikan akan memberikan dampak positif yaitu menjadikan kita pribadi-pribadi ikhlas tanpa pamrih. Dengan melupakan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan kita akan segera terhindar dari godaan untuk membesar-besar diri dan berbangga dengan amal kebaikan tersebut. Bukankah mengingat-ingat kebaikan yang kita lakukan lebih jauh dapat menggiring kita kepada keinginan untuk dipuji? Dan bukankah gila pujian ini adalah salah satu senjata syaitan untuk menjatuhkan kita? Di samping itu ternyata orang lebih mudah jatuh karena pujian daripada kritikan.

Melupakan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang lain kepada kita akan menjadikan kita sebagai pribadi pemaaf. Dan sebuah hubungan yang dibangun dengan sikap saling memaafkan kesalahan dan kekurangan orang lain, menerima dengan lapang dada tanpa tersirat keinginan untuk balas dendam adalah hubungan yang Insya Allah diridhoi oleh Allah.

Dalam hidup ini kita senantiasa terlibat dalam empat keadaan ini. Suatu ketika orang berbuat baik kepada kita dan pada kesempatan lain mereka khilaf dan melakukan kesalahan kepada kita. Demikian juga suatu ketika kita pernah berbuat kebaikan kepada orang lain. Pernah juga mungkin tanpa sengaja kita melakukan kesalahan kepada mereka. Keempat hal inilah yang harus kita pegang untuk memperkuat tali silaturrahim. Tinggal sekarang bagaimana kita melatih diri kita untuk melakukan keempat panduan ini dengan baik. Artinya jangan sampai kita tertipu untuk melakukan sebaliknya. Jangan sampai kita tertipu untuk mengingat kebaikan-kebaikan kita dan mengingat kesalahan orang lain. Yang pertama kita bisa terperosok menjadi orang yang sombong, tidak ikhlas beribadah. Yang kedua bisa menjebak kita menjadi orang-orang pendendam. Jangan juga kita sampai melupakan kebaikan-kebaikan orang lain dan melupakan kesalahan-kesalahan kita. Bila kita melupakan kebaikan orang lain, kita akan menjadi pribadi gersang, kering tanpa kasih-sayang, tanpa niat balas-budi. Dan yang lebih parah, bila kita terbiasa melupakan kesalahan-kesalahan kita, kita akan menjadi orang-orang fasik, terlena tidak sadar dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Setelah menjadi besar, dan membahayakan, barulah kita tercengang dengan banyaknya kesalahan kita.

Mari kita banyak-banyak mengingat kebaikan yang telah dilakukan orang lain agar bisa kita membalas budi. Dan mari kita segera melupakan kebaikan yang pernah kita berikan kepada orang lain agar kita menjadi orang yang ikhlas. Insya Allah apabila hal ini bisa kita pedomani, maka akan tercipta hubungan silaturrahmi yang ikhlas tanpa arogansi, tanpa godaan membesar-besarkan diri.

Ya Allah tunjukilah kami selalu di Jalan-Mu. Amien.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 18 Juni 2002

Sabar

Allah SWT pernah menjanjikan untuk menganugerahkan shalawat, keberkatan yang sempurna dan rahmat, serta petunjuk kepada orang-orang yang mampu berbuat sabar (QS. Al Baqarah [2]:157). Hebat kan? Padahal kalau dikaji, sebenarnya fasilitas shalawat ini kita dapati hanya diberikan kepada para nabi rasul. Bahkan secara khusus dalam surat Al Ahzab ayat 56, Allah berfirman ‘Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya’ (QS. Al Ahzab [33]: 56). Akan tetapi, pada ayat dalam surat Al Baqarah di atas, Allah SWT justru menegaskan bahwa fasilitas shalawat ini juga akan diberikan kepada orang-orang yang sabar.

Sekarang setelah mengetahui begitu besarnya balasan bagi orang yang mampu bersabar, tentu kita akan bertanya bagaimana yang dimaksud dengan orang-orang yang sabar. Jawaban atas rasa penasaran kita ini dapat kita temukan pada ayat berikutnya dalam surat Al Baqarah ini. Allah SWT menjelaskan yang dimaksud dengan orang-orang sabar adalah orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:"Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS. Al Baqarah [2]:156). Terjemahan ucapan istirjaa’ ini adalah ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.’

Untuk mendapatkan fasilitas shalawat ini, syaratnya cukup sederhana yaitu mengucapkan kalimat istirjaa’ tiap kali mendapatkan musibah. Tentunya pengucapan yang diharapkan adalah pengucapan yang disertai kesadaran mendalam bahwa kita akan kembali kepada Allah. Karena pengucapan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai pengakuan, kesadaran yang paling tinggi dari seorang hamba tanpa berburuk sangka terhadap musibah yang dihadapinya.

Coba sekarang kita menundukkan pandangan, mengintrospeksi diri sendiri. Kapan atau pada saat bagaimana kita paling sering menggumamkan kalimat istirjaa’ ini? Mari kita jujur mengakui bahwa kalimat Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun ini kita ucapkan hanya ketika mendengar berita kematian saja! Atau dengan kata lain, maaf mari mentertawakan diri sendiri, kita hanya menganggap yang namanya musibah itu hanya berupa kematian. Sementara untuk kejadian-kejadian lain yang tidak mengenakkan, mana pernah kalimat ini terucapkan?

Jangan jauh-jauh, sekarang kita ambil contoh yang paling kecil. Insya Allah semua kita pernah terantuk batu atau kepala kejedug di tembok. Kalimat apa yang paling sering muncul ketika mendapat musibah seperti ini? Adakah kesadaran muncul bahwa kita akan kembali kepada Allah bila kita mendapat musibah sekedar terantuk batu dan kejedug tembok? Maaf, mungkin yang lebih sering terucap adalah makian kecil-kecilan. Atau paling rendah, kita menghujat, sial! Kayaknya lebih sering kalimat-kalimat seperti ini ya daripada kalimat istirjaa’ Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun.

Padahal orang yang memaki ketika mendapat musibah kecil-kecilan seperti contoh di atas sebenarnya adalah orang yang rugi dua kali. Rugi pertama ia mendapat musibah, sakit, dan kerugian berikutnya ia mendapatkan dosa atas makian yang ia keluarkan. Jadi, sudah sakit, dosa lagi.

Terakhir, kalau dipikir-pikir kayaknya juga kita jarang, kalau tidak bisa dibilang tidak pernah, berusaha mendidik diri sendiri atau membiasakan anak kecil dengan sifat mulia yang bernilai tinggi ini. Bahkan lebih sering kita mendidik diri dengan pelampiasan. Bila suatu ketika, umpamanya, kaki kita terantuk batu, selain tidak menimbulkan kesadaran istirjaa’ mengembalikan kepada Allah, kita juga lebih sering mencari kambing hitam. Kita ajarkan pada diri kita dan kepada anak-anak kita kebiasaan untuk mencari pelampiasan, bukannya ajaran kesabaran. Nah!

Mari kita mendidik diri menjadi hamba yang sabar yang terbiasa mengingat Allah dengan kesadaran akan kembali kepada-Nya setiap kali tertimpa musibah, musibah besar maupun kecil dan bukan mencari-cari orang yang akan disalahkan, bukan pula kambing hitam.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 19 Juni 2002

Mengapa Mesti Berdoa

Mengapa mesti berdoa? Bukankah Allah Tuhan seru sekalian alam sudah sedemikian Maha Mengetahui kalimat-kalimat yang kita lahirkan maupun yang masih kita sembunyikan? Bukankah permintaan yang kita ajukan lewat doa sama artinya dengan meragukan kemahatahuan Allah? Sedangkan Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar bahkan segala yang baru tercetus di dasar hati. Bukankah Dia Maha Kasih dengan kasih sayang yang tak berbatas sehingga kalau pun tanpa doa dari hamba-hamba-Nya, Dia meluaskan juga pintu rezeki-Nya kepada kita? Lalu mengapa mesti menyibuk-nyibukkan diri dengan doa?

Dan mengapa mesti menyembah, rukuk sujud dalam sholat? Bukankah Allah Maha Benar dengan segala sifat ketuhanan-Nya? Bukankah penyembahan kita tidak akan mengubah apapun dari sifat-sifat-Nya? Lalu mengapa mengira bahwa Dia membutuhkan penyembahan kita, pengakuan dari kita bahwa Dialah Allah Tuhan yang sebenar-benar Tuhan? Bukankah tanpa itu semua Dia tetap Tuhan penguasa seluruh alam ini? Lalu mengapa mesti menyembah, rukuk sujud dalam sholat?

Ikhwan fillah, mungkin kita pernah ‘tertipu’ dengan ungkapan-ungkapan mengagumkan seperti beberapa contoh di atas. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh orang-orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia sangat mengagumkan, sungguh menarik hati dan melenakan dan bahkan mereka berani mempersaksikan kepada Allah atas kebenaran isi hatinya, padahal mereka adalah penantang yang paling keras (QS. Al Baqarah [2]:204). Mungkin suatu kali kita terkagum-kagum oleh ketinggian nilai-nilai filsafat yang diusung oleh orang-orang seperti ini. Dan kita, seperti terkesima tak bisa memberikan argumen atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih berupa pernyataan-pernyataan mengagumkan ini.

Bukti penghambaan, itulah jawabannya. Ketaatan kita adalah bukti bahwa kita mengakui Allah adalah Tuhan yang menguasai kita. Doa dan rukuk sujud sholat kita adalah perwujudan persaksian kita bahwa Dialah Allah Tuhan yang patut disembah. Dan Allah memang tidak membutuhkan penyembahan kita, tetapi justru kitalah yang lebih membutuhkan penyembahan tersebut sebagai bentuk ketaatan atas perintah-perintah yang Dia bebankan kepada kita. Ketundukan atas perintah-perintah-Nya adalah wujud dari persaksian kehambaan kita. Bukankah Allah sang Tuhan yang Maha Menguasai telah memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya? Bukankah Dia juga telah memerintahkan kita untuk mengingat-Nya dengan sholat. Lalu mengapa kita berkilah untuk mengingkari perintah-Nya bila kita sudah menyatakan janji ketaatan kepada-Nya. Bukankah Dia memerintahkan kepada kita untuk menyatakan: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (QS. Al An’am [6]: 162)

Menurut riwayat, shahabat Umar radhiallahu ‘anhu, semoga Allah meridhoinya, pernah ‘marah’ kepada hajar aswad, batu hitam yang dicium di samping Ka’bah dalam rangkaian ritual ibadah haji. Dengan bahasa kita sekarang beliau sampai berkata, ‘seandainya bukan Allah dan rasul-Nya yang mensyariatkan, tak kan kucium kau wahai batu hitam karena apalah engkau hanya sebongkah batu’. Inilah ketaatan kepada Allah. Inilah penghambaan yang dibuktikan dengan ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya.

Dan Allah Tuhan seru sekalian alam telah mengajarkan bahwa taqwa, menjalankan semua perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya adalah bentuk dari persaksian kita. Di dalam hidup ini, banyak sekali perintah-perintah dan larangan-Nya yang harus kita patuhi untuk mewujudkan penghambaan kita. Tinggal kita sekarang mau atau tidak melaksanakan perintah dan menjauhi larangan sebagai bentuk ketaatan.

Ya Allah jadikan kami sebagai hamba yang selalu melaksanakan perintah-perintah-Mu dan menjauhi larangan-larangan-Mu.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 20 Juni 2002

Malu

Rasulullah SAW suatu ketika pernah bersabda bahwa iman itu memiliki enam puluh tujuh cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman (Hadis riwayat Abu Hurairah dikutip dari kitab Jami’u shahih Bukhari).

Pada catatan kaki hadis di atas, dijelaskan bahwa malu yang dimaksud adalah malu dalam mengerjakan kesalahan dan malu tidak melaksanakan perintah-perintah Allah.

Kalau kita renungkan memang rasa malu ini dapat berperan, kalau tidak bisa dikatakan berperan penting, dalam pembentukan karakter iman seseorang. Secara sepintas kita dapat melihat kualitas keimanan seseorang dari tinggi rendahnya rasa malu orang tersebut. Dengan kata lain, semakin tinggi rasa malu seseorang, ada indikasi bahwa orang tersebut memiliki tingkat iman yang juga tinggi. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang rasa malunya, maka boleh dikatakan orang tersebut sudah tidak lagi memiliki iman.

Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW pernah bersabda dengan kalimat yang kira-kira semakna dengan perkataan bahwa tidak akan berzina seorang pezina selama masih ada iman di dalam dadanya. Tidak akan minum minuman keras seseorang selama masih ada iman di dalam dadanya. Atau dengan kata lain seseorang tidak akan melakukan maksiat selama masih ada iman di dalam dadanya. Nah kalau kita kaitkan dengan hadis sebelumnya kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran selama masih ada rasa malu di dalam dirinya.

Sekarang ini dari berita-berita yang kita dengar atau baca atau bahkan dapat kita lihat di sekitar kita, orang sudah sedemikian kehilangan rasa malu sehingga pelanggaran dilakukannya dengan terang-terangan tanpa rasa malu. Kalau di zaman dahulu di zaman jahiliyah, zaman kebodohan di masa sebelum Rasulullah diutus, seorang pezina memasang bendera tinggi-tinggi sebagai tanda untuk mengundang para pelanggan mendatangi tempat mereka. Di zaman kita sekarang, bukan lagi sekedar bendera yang dipasang tinggi-tinggi yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang di sekitar tempat itu, tetapi iklan terselubung yaitu berita di koran-koran pun ikut mempromosikan tempat-tempat, acara-acara kegiatan, fasilitas-fasilitas seperti ini yang dapat diketahui oleh orang-orang dalam jangkauan yang tentunya jauh lebih luas. Bahkan kalau orang dahulu orang berjudi secara sembunyi-sembunyi sekarang ini, naudzubillah, ada usul dari orang-orang yang katanya pengayom masyarakat untuk melokalisir perjudian di satu tempat di satu pulau khusus. Jangan berpikir ke Jakarta dengan usulan pulau judi di sekitar Pulau Seribu. Justru ide yang sepertinya tanpa malu-malu ini diusulkan oleh ‘pengayom masyarakat’ di dekat kita. Kita hanya bisa bertanya di mana rasa malu orang-orang seperti ini? Kalau tadinya orang berjudi sembunyi-sembunyi dengan malu-malu, sekarang dengan ide ini mereka akan difasilitasi agar tidak perlu lagi malu-malu berjudi. Nah!

Itu salah satu contoh kehilangan rasa malu dalam skala besar yang berada pada orang dengan pengaruh yang juga besar. Orang besar seperti ini apabila kehilangan rasa malu maka akan menimbulkan bahaya yang juga besar. Dalam skala kecil, mari kita menengok diri kita. Pada diri kita, terutama dalam keadaan sendiri, malu inilah yang juga dapat mengerem kita bermaksiat. Bukankah dalam keadaan sendiri, dengan keadaan dan fasilitas yang lebih mendukung untuk bermaksiat, syaitan lebih leluasa menyerang pertahanan kita. Di sinilah, iman keyakinan kepada Allah yang dimanifestasikan dalam rasa malu bermaksiat kepada Allah dapat menjadi tameng kita terhadap serangan syaitan yang lebih dahsyat.

Diakui atau tidak, untuk orang-orang dengan tingkat iman seperti kita ini, malu inilah yang justru lebih banyak berperan dalam mempertahankan diri untuk tidak terjebak dalam maksiat. Kita malu terang-terangan melakukan maksiat karena kita cenderung malu sama tetangga, malu sama kawan dan seterusnya, baru kemudian kita mengingat bahwa maksiat itu akan mendapat balasan siksa dari Allah.

Mari kita tingkatkan rasa malu kita terutama malu untuk bermaksiat kepada Allah.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 24 Juni 2002

Malu
(Sambungan)

Setelah kemarin kita membahas malu dari sisi awal catatan kaki hadis Rasulullah SAW mengenai malu ini yaitu malu dalam mengerjakan kesalahan, sekarang mari kita lihat malu dalam arti kedua yaitu malu tidak melaksanakan perintah-perintah Allah.

Untuk diingat, dalam catatan kaki hadis Rasulullah SAW mengenai malu ini, dijelaskan ada dua jenis malu yang dimaksud yaitu malu dalam mengerjakan kesalahan dan malu tidak melaksanakan perintah perintah Allah. Dan kemarin, kita telah melihat bagian awalnya. Sekarang kita akan melihat malu dalam makna kedua yaitu malu tidak melaksanakan perintah perintah Allah. Inilah malu yang Insya Allah dapat mendorong kita untuk selalu dinamis, bergerak mengejar ketertinggalan dalam ibadah kepada Allah. Dengan malu seperti inilah kita akan dapat memasukkan diri untuk ‘berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’ (QS. Al Baqarah [2]:148)

Rasulullah SAW pernah memberikan panduan untuk hal ini. Kita dianjurkan untuk melihat kepada orang yang berada di atas kita apabila hal itu berhubungan dengan amal akhirat. Akan tetapi untuk urusan dunia, kita dianjurkan untuk melihat orang yang berada lebih rendah di bawah kita. Nah terkait dengan urusan malu ini, untuk amal-amal ibadah kita seharusnya melihat kepada prestasi ibadah orang lain yang lebih daripada prestasi ibadah kita. Diharapkan dengan menumbuhkan rasa malu seperti ini kita akan dapat membangkitkan semangat kompetisi beribadah di dalam diri kita. Karena itu kita harus lebih sering mendidik diri memelihara rasa malu kalah beribadah.

Sebagai ilustrasi, suatu ketika sewaktu persiapan perang menghadapi musuh-musuh Allah, Rasulullah SAW menyerukan kepada semua orang untuk mengeluarkan infak guna pendanaan perang tersebut. Sahabat Usman ra yang ingin sekali mengalahkan Sahabat Abu Bakar dalam mengeluarkan infak datang dengan membawa setengah hartanya. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW, apa yang ia tinggalkan untuk keluarganya, Sahabat Usman ra menjawab bahwa ia meninggalkan sebagian hartanya. Tetapi tidak lama kemudian datanglah Sahabat Abu Bakar ra dengan membawa seluruh hartanya. Subhanallah! Ketika ditanya apa yang ditinggalkan untuk keluarganya, beliau menjawab bahwa beliau telah meninggalkan Allah dan Rasul-Nya kepada keluarganya. Rasa malu inilah yang sedang ditunjukkan oleh Sahabat Usman ra. Beliau malu gara-gara tidak pernah melebihi Sahabat Abu Bakar dalam berinfak.

Mungkin melihat ilustrasi di atas, kita akan menarik diri berapologi dengan beralasan itu kan di zaman Rasulullah. Mungkin kita bisa berkata seperti itu. Tetapi yang juga bisa kita lihat adalah orang-orang yang ternyata ada di zaman kita sekarang, bahkan di sekitar kita. Contoh infaknya Sahabat Abu Bakar dan rasa malunya Sahabat Usman, radiallahu anhum (semoga Allah meridhoi mereka semua) mungkin terlalu tinggi untuk kita ikuti. Tetapi sekarang juga kita bisa bercermin dari orang-orang sekitar kita yang ternyata juga tidak kalah semangat istiqomahnya beribadah. Untuk diingat, di tempat kita sekarang ini ada orang yang demikian tidak pedulinya dengan udara yang dingin di pagi subuh, datang dengan jaket tebal berjalan kaki dari barak-barak di balik-balik bukit hanya untuk mendatangi panggilan azan subuh. Berapa banyak saudara-saudara kita yang tetap istiqomah, lurus hati ikhlas dalam beribadah di tengah godaan hidup yang keras seperti ini, rela tetap menjalankan sholat di tengah-tengah kaum yang begitu memuja efisiensi waktu, rela berpakaian Islami menutup aurat di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia tambang yang memuja tubuh-tubuh pekat berpakaian ketat.

Ada saudara-saudara kita di sini yang masih istiqomah bangun malam untuk sholat tahajud tanpa banyak alasan besok akan bekerja keras. Ada saudara-saudara yang begitu gemar menginfakkan hartanya untuk membiayai pendidikan anak-anak tidak mampu di sekitar mereka. Ada saudara-saudara kita yang begitu peduli terhadap orang lain. Dan banyak contoh-contoh lain yang pantas kita cemburui yang ternyata berada di dekat kita.

Mari kita tumbuhkan rasa malu dengan sedikitnya amal ibadah yang dapat kita bawa ke hadapan Ilahi. Dengan rasa malu ini Insya Allah kita akan dapat berusaha meningkatkan amal ibadah kita. Semoga.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 24 Juni 2002

Syukur Hidayah

Salah seorang pelindung perjuangan Rasulullah SAW adalah paman beliau yang juga pengganti orang tua beliau yaitu Abu Thalib. Sang paman ini begitu sayang kepada keponakannya demikian juga sang keponakan sudah mengganggap beliau sebagai orang tua sendiri. Jalinan hubungan mereka didasari pada kasih sayang yang tiada beda dengan kasih sayang orang tua kandung kepada anaknya. Bahkan sewaktu keponakannya menginjak remaja Abu Thalib sering mengajaknya bersama-sama mencari nafkah untuk keluarga sampai ke negeri yang jauh bersama kafilah-kafilah dagang. Artinya antara paman dan keponakan sudah ada ikatan saling lindung-melindungi. Karena itulah, ketika sang keponakan berjuang membawa ajaran Ilahiyah, ajaran agama Islam, sang paman pun tampil sebagai pelindung bagi perjuangan keponakannya.

Walaupun demikian erat hubungan paman dan keponakan ini, demikian tegar sang paman melindungi perjuangan keponakannya dalam membawa ajaran Islam, ada satu penghalang yang masih merintangi, yaitu sang paman masih tidak mau melepaskan keyakinan nenek-moyangnya dan tidak mau bergabung dalam golongan orang-orang yang beriman. Maka sangatlah wajar dengan hubungan yang erat ini dan didasari oleh kasih-sayang yang mendalam sang keponakan sangat menginginkan pamannya mau menerima ajaran yang dibawanya. Akan tetapi oleh Allah SWT keinginan Rasululah SAW agar pamannya juga mendapat hidayah ‘ditegur’ dengan firman-Nya di dalam surat al Qashshash:

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al Qashshash [28]: 56)

Demikian dekat hubungan kekeluargaan antara sang pembawa petunjuk dengan Abu Thalib, demikian erat kasih-sayang antara mereka berdua tetapi Allah SWT menegaskan bahwa siapa pun orang yang kita kasihi tidak akan mendapatkan petunjuk kalau bukan karena kehendak Allah.

Ikhwan fillah, petunjuk ke jalan yang diridhoi-Nya ini adalah semata-mata hak prerogatif Allah SWT. Dari ayat di atas, tanpa perenungan yang mendalam dengan mudah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita tidak dapat memberikan petunjuk kepada siapa saja yang kita inginkan mendapat petunjuk. Contohnya adalah kisah mengenai Abu Thalib paman Rasulullah SAW ini. Akan tetapi yang perlu kita renungkan sekarang adalah bahwa, Alhamdulillah, ternyata sekarang kita ini, yang tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW, tidak tinggal berdekatan dengan tempat Rasulullah menyeru umatnya, bahkan tidak sedang hidup di zaman beliau, ternyata kita berada di dalam petunjuk, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Inilah yang perlu kita renungkan. Oleh Allah SWT kita masih diberi anugerah iman walau pun kita berada di tempat yang jauh dari tempat Rasulullah dan hidup di zaman yang jauh dari zaman beliau. Marilah kita banyak-banyak mensyukuri karunia Ilahi ini. Ini semata-mata atas kehendak Allah SWT.

Setelah menyadari bahwa kita, yang bukan siapa-siapa ini ternyata diberikan hidayah, petunjuk oleh Allah SWT untuk mengikuti jalan yang diridhoi-Nya yaitu jalan Islam ini, yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana kita mempertahankan diri tetap di jalan-Nya ini. Kita harus banyak-banyak berusaha mempertahankan keberadaan kita di jalan Ilahi ini. Pengisian diri dengan ilmu untuk dapat memahami petunjuk jalan Ilahi adalah mutlak kita lakukan. Penyempurnaan pelaksanaan ajaran juga termasuk beberapa cara yang mesti kita lakukan untuk dapat mempertahankan diri tetap berada di atas jalan ini.

Setelah berada di atas jalan Islam, kita harus terus berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah Allah SWT tetapkan. Akan sangat rugi rasanya setelah kita berada di atas jalan hidayah ini, kemudian kita sia-siakan kesempatan, bahkan berislam dengan enggan. Semestinya dengan kesadaran ini, sekaranglah saatnya kita yakinkan diri untuk berislam dengan total, bukan setengah-setengah.

Keadaan kita yang sekarang ini berislam adalah semata-mata anugerah dari Allah. Kita patut bersyukur atas hal ini. Selanjutkan kita harus mempertahankan diri agar tetap berada di jalan-Nya. Sudah saatnya kita berislam secara kaffah, secara menyeluruh bukan berislam setengah-setengah.

Ya Allah, Ya Robbal ‘alamin, Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Amin. (QS. Al Fatihah [1]: 6-7)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 25 Juni 2002

Telanjang dan Menangis

Pengantar:
Ketika duduk di depan komputer untuk mulai menulis renungan harian, entah kenapa saya teringat orang-orang tercinta yang lebih dahulu dipanggil oleh Ilahi.

Tanpa bermaksud mendramatisir sebagian cuplikan-cuplikan dari perjalanan hidup ini yang sudah secara sunnatullah berlaku seperti itu, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak merenungkan apa dan bagaimana perputaran hidup ini. Saya mengawali renungan kita sengaja mengambil judul telanjang dan menangis sekedar mengingatkan kita bahwa siapa pun kita pernah melewati fase ini, fase ketika kita masih bayi merah saat baru keluar dari rahim ibu menghadapi dunia dengan menangis. Dan pada akhirnya, seberapa pun kita mencintai dan dicintai oleh dunia, pada akhirnya kita juga akan menjalani akhir siklus kehidupan ini, kembali ke hadirat Ilahi. Saya katakan siapa pun dia, ya siapapun mulai dari seorang yang berkedudukan sangat tinggi sampai berpredikat sampah masyarakat pun pernah menjadi bayi merah, keluar dari rahim ibunya berlumuran darah, telanjang dan menangis. Kemudian pada saat tiba sang bayi ini harus mengakhiri perjalanan hidupnya. Inilah universalisme siklus kehidupan.

Kalau kita lihat kembali, ternyata kita akan menemukan pola yang sama untuk mengawali dan mengakhiri perjalanan hidup ini, yaitu keluar dari rahim ibu dalam keadaan telanjang dan menangis kemudian secara perlahan si bayi merah tak berdaya ini belajar membuka mata dan telinganya untuk melihat dan mendengar suara-suara dunia. Dengan bantuan dan dukungan kasih-sayang orang-orang tercinta, si jabang bayi ini belajar menghadapi dunia dan kemudian bahkan berani menantangnya karena ia telah menjelma menjadi: ANDA, menjadi kita! Tapi pernahkan ada kesadaran pada bahwa kita yang perkasa ini, bahkan dengan kesombongan yang terkadang menembus langit tadinya hanyalah bayi lemah?

Sebenarnya satu saja pemahaman kita mengenai hakikat hidup ini, yaitu kesadaran bahwa kita menjalani hidup dengan awal yang sama dan juga akan berakhir dengan akhir yang sama, yaitu mengawali dengan tangis dan mengakhiri dengan kematian maka kita akan dapat menjadi orang-orang yang rendah hati bersih dari sifat-sifat besar diri, bersih dari sifat menyombongkan diri dan sifat mengecilkan orang lain.

Sayangnya kesadaran seperti ini seringkali tertutup oleh gemerlapnya status keduniaan kita yang kasat mata. Lebih sering kita merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap orang lain lebih rendah dari kita hanya gara-gara kita mengganggap diri memiliki lebih banyak harta dari orang lain jadi merasa berhak atas penghormatan berlebih dari orang lain. Bahkan keberadaan kita di proyek ini pun seringkali menipu kita.

‘Ala kulli hal, mari kita banyak-banyak fahamkan diri mengenai tujuan hidup kita agar terbebas kita dari sifat-sifat sombong dan merendahkan orang lain.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 27 Juni 2002

Ibadurrahman

Dan Ibadurrahman, hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al Furqon [25]:63)

Apabila suatu ketika kita berpapasan dengan seseorang yang menurut pengetahuan umum dan pengetahuan kita terkenal sebagai seorang pendosa aktif, jahat dan suka menjegal kawan seiring maka secara alamiah kebanyakan dari kita akan mengambil sikap preventif bahkan cenderung menghindar. Hal ini adalah sikap yang lumrah karena kita semua memiliki kecenderungan senang aman berada di dalam comfort zone, daerah aman masing-masing. Kebanyakan kita akan mengambil sikap berjaga-jaga atau paling tidak memasang alarm waspada jangan sampai kita menjadi korban kejahilan orang ini. Yang tidak lumrah kemudian adalah kita seringkali terjebak dengan mempertunjukkan sikap preventif berlebihan yang terkadang kita tunjukkan dengan memasang tampang tidak ramah bahkan dengan pandangan curiga. Apabila bertegur-sapa pun, tegur-sapa yang keluar bukanlah tegur-sapa ikhlas, tetapi hambar penuh dengan keramahan yang berpura-pura.

Allah SWT memuji orang-orang yang dapat memberikan kata-kata menyejukkan, ya sekedar kata-kata yang penuh berisi hikmah keselamatan bahkan kepada orang-orang jahil dengan predikat Ibadurrahman. Bahkan Allah SWT menjanjikan untuk orang-orang seperti ini dengan:

Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, (QS. Al Furqon [25]: 75)

Dan salah satu sifat Ibadurrahman, hamba Allah yang Maha Pengasih ini adalah selalu menghendaki, berdoa agar pasangan hidup mereka, suami/istri mereka, anak keturunan mereka agar menjadi penyejuk pandangan. Sang Ibadurrahman menginginkan agar keluarganya menjadi keluarga sakinah, keluarga yang penuh kedamaian.

Selain anggota keluarganya dapat menenteramkan hati terutama karena kebagusan akhlak mereka, hamba yang Ibadurrahman ini menghendaki agar mereka menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa.

Dan orang-orang yang berkata:"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. 25:74)

Seorang Ibadurrahman, selain mampu berkata santun penuh keselamatan bahkan kepada orang jahat pun, juga menginginkan terbentuknya generasi yang mampu menjadi pelaku kebaikan. Ini berarti ia sadar bahwa ternyata tidak cukup ia sendiri yang menjadi orang bertaqwa, tetapi generasi yang terbentuk haruslah generasi yang juga bertakwa. Seorang mukmin sejati, sang Ibadurrahman ini, akan selalu berusaha agar dirinya, keluarganya, anak keturunannya menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa, orang-orang yang berada di belakangnya adalah orang-orang yang bertaqwa.

Ini juga berlaku untuk kita. Agar bisa menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa, kita mesti menjadi pelaku aktif, motor penggerak bagi proses menuju ketaqwaan ini. atau dengan kata lain kita harus selalu menciptakan suasana agama dalam kehidupan kita. Di barak, di kantor, di tempat kerja dan di mana saja kita harus tetap menjadi pionir ketaqwaan ini sambil mengajak rekan sebarak, sekantor dan sekerja kita untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa.

Bila kita menginginkan balasan martabat yang tinggi di dalam surga, kita mesti mendidik diri kita agar bisa berlaku santun, berkata dengan kata-kata yang penuh keselamatan kepada siapa saja sambil berusaha membentuk generasi bertakwa.

Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Amien.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 2 Juli 2002

Ibadurrahman
(Lanjutan)

Setelah kemarin kita melihat dua sifat seorang Ibadurrahman, yaitu tetap memberikan kata-kata yang mengandung keselamatan bahkan kepada orang jahat sekalipun dan selalu berusaha menciptakan generasi pemimpin orang-orang bertakwa, sekarang mari kita lihat sifat lain sang Ibadurrahman ini. Dalam lanjutan ayat mengenai Ibadurrahman ini Allah SWT menjelaskan bahwa seorang Ibadurrahman: tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (QS. Al Furqon [25]: 72)

Mari kita perhatikan apa yang terkandung dalam ayat di atas pada kehidupan keseharian kita.

Kalau kita sedikit mengorek-ngorek serpihan-serpihan hidup ini kita akan menemukan bahwa seringkali persaksian palsu, janji-janji palsu sekarang ini bukanlah lagi menjadi sesuatu yang sulit dijumpai. Kalau kita mencoba melihat sekilas, melihat yang besar-besar, maka di situ kita bisa menemukan beberapa kenyataan yang menunjukkan, misalnya, betapa mengerikannya kehidupan peradilan di negeri kita karena semua lini sepertinya bisa dibeli. Orang tidak lagi merasa berat untuk memberikan keterangan, pengakuan palsu bahkan dengan membawa-bawa nama tuhan. Demikian juga dalam kehidupan perpolitikan kita. Tetapi kalau kita melihat ke dalam yang lebih kecil pun, kita juga akan menemukan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan bahwa ternyata tidak jarang kita juga melakukan hal ini walau pun dalam skala kecil-kecilan. Untuk tujuan-tujuan tertentu, kita sering terjebak membelok-belokkan keterangan, kecil-kecilan.

Dan menurut ayat di atas seorang Ibadurrahman adalah orang yang memiliki sikap kukuh tidak akan memberikan persaksian palsu, sekecil apapun dan sebagaimanapun menggiurkannya tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Itu yang pertama.

Dari ayat di atas kita juga dapat melihat bahwa seorang Ibadurrahman adalah orang yang bisa berkata tidak terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah tanpa mendiskreditkan diri dan kehormatan dirinya. Penolakannya terhadap perbuatan-perbuatan tidak berfaedah ini tidak menggiringnya menjadi orang yang kehilangan kehormatan diri.

Mungkin kita pernah dihadapkan pada suatu keadaan ketika kita secara etika atau karena kelemahan iman, kita diharuskan mengedepankan ‘toleransi,’ sungkan atau justru rasa ‘tahu diri’. Dengan kata lain kekerdilan iman kita tidak berani menegur seseorang yang melakukan kesalahan walaupun di dalam hati kita memang menentang hal yang dilakukannya. Atau janganlah terlalu jauh, sekali waktu mungkin kita pernah berhadapan dengan situasi ketika seseorang yang demikian sungkan kita tegur melakukan sesuatu yang tidak berfaedah sementara hati kecil kita menolaknya. Dalam situasi seperti ini, sebenarnya pertahanan diri kita sudah demikian tipis untuk berkata tidak terhadap ajakan. Sedikit saja kita diajak, maka perasaan-perasaan di atas, sungkan, tahu diri, toleransi demikian menguasai sehingga kita cenderung menerima ajakan walau pun hati kecil berkata tidak. Inilah pilihan yang mudah, tetapi justru mengajak ke keburukan.

Nah, untuk menolak ajakan ke arah perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah dalam situasi seperti di atas seringkali kita terjebak tidak dapat menjaga kehormatan diri kita dan kehormatan diri orang yang mengajak. Yang lebih sering terjadi kalau pun berlalu, meninggalkan orang-orang dengan perbuatan yang tidak berfaedah ini, kita berlalu, meninggalkan mereka dan membiarkan mereka memberikan stempel angkuh kepada diri kita.

Dalam situasi ini, seorang Ibadurrahman harus bisa menolak, atau meninggalkan orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak berfaedah, bahkan mengingatkan akan ketiadaan manfaat perbuatan tersebut dengan hikmah, tetap menjaga kehormatan diri, diri kita dan diri orang-orang yang melakukan perbuatan itu tanpa meninggalkan kesan ‘sok’ angkuh, sombong dan kesan-kesan lain yang mendiskreditkan.

Inilah tambahan, sifat-sifat lain seorang Ibadurrahman, tidak bersaksi palsu dan meninggalkan perbuatan-perbuatan tidak berfaedah tanpa menghilangkan kehormatan diri.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An Nahl [16]: 125)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 4 Juli 2002

Memberi Warna

Kalau kita umpamakan sebagai sebuah wadah maka dunia ini tiada bedanya dengan sebuah wadah besar yang terkumpul di dalamnya berbagai macam barang, beraneka ragam benda yang berbeda-beda bentuk, warna, karakteristik dan segala macam perbedaan lainnya. Semua benda ini terdiri dari individu-individu, satu entitas kecil yang sendiri-sendiri yang berkumpul mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar, yang lurus-lurus dan yang bengkok, yang hitam dan yang putih, yang baik dan tidak baik, yang kuat dan yang lemah dilemahkan dan semua sifat-sifat lain yang kemudian menjadi entitas besar komunitas. Semua benda, sifat-sifat, barang ini tertumpuk menjadi satu, saling tindih, saling kait, saling desak, saling pengaruhi dan kita adalah salah satu bagian kecil di dalamnya.

Isi wadah besar yang bernama dunia ini ternyata juga selalu bergerak, bergerak dan bergejolak dinamis dalam putaran pergerakan yang tidak jelas ke mana, kadang teratur tetapi lebih sering tidak teratur. Kesemuanya terikat dalam ikatan tarik-menarik saling pengaruhi. Kesemuanya juga berputar dalam rotasi sendiri saling tarik menuju ke dirinya sambil bergerak maju menuju masa depan yang entah ke mana.

Setelah mengalami masa pergerakan, masa berproses, masing-masing individu ini juga memiliki batas yang pada akhirnya harus sampai pada satu titik akhir. Benda yang tak bernyawa akan sampai ke kondisi tua dan rusak sedangkan yang bernyawa harus mengakhiri proses gerakan hidup dengan bertambah tua dan pada akhirnya mati. Ada juga yang tidak mengalami kondisi tua ini tetapi langsung mati.

Sebelum sampai ke titik akhir ini, entitias besar yang terdiri dari individu-individu kecil ini, seperti telah disebutkan di atas, akan mengalami proses saling mempengaruhi. Yang kuat akan mempengaruhi yang lemah. Dan suka atau tidak suka, disadari atau tidak disadari yang lebih lemah lambat-laun akan kehilangan sifat-sifat pribadinya dan mengambil warna, mengambil bentuk dan karakteristik meniru yang lebih kuat. Tidak peduli sebagaimana pun diamnya pergerakan sebuah individu, ia pada hakikat sedang dalam proses yang sedemikian cepat; meniru atau sedang menebarkan model untuk ditiru. Bahkan sebuah individu yang terlihat diam pada hakikatnya sedang berada dalam gerak menuju ke kejadian. Ini adalah proses saling mempengaruhi, mengambil atau memberi model untuk ditiru, jadi atau menjadi. Dan kita, manusia pun juga berada dalam proses ini.

Mari kita persempit ke diri kita, manusia.

Sebagaimana pun kuatnya sebuah individu, sebagaimana pun hebatnya filter kita menyaring pengaruh dari luar yang datang kepada diri kita ini, sebenarnya itu belum lah seberapa dibandingkan dengan banyaknya pengaruh yang telah kita tiru. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena secara sunnatullah kita tidak seperti seekor ikan yang mampu mempertahankan tubuhnya dalam kondisi tidak asin walau pun hidup di tengah laut yang memiliki kadar garam yang tinggi. Bahkan tempat hidup ikan adalah garam itu sendiri. Kita tidak seperti itu. Tetapi kita adalah kita yang hidup kita di tengah-tengah masyarakat yang saling mempengaruhi, bergaul dengan individu lain, juga saling mempengaruhi. Baik buruknya diri kita, identitas diri, sifat-sifat pribadi dan siapa sebenarnya diri kita ini pada dasarnya adalah hasil dari imitasi yang lebih dominan dipengaruhi dari luar. Ada sebuah hadis menjelaskan bahwa kita dilahirnya dalam keadaan fitrah. Tetapi orang tualah yang membentuk kita menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Kembali, ini adalah faktor luar. Itu sewaktu lahir. Sekarang, dalam pergaulan hidup setelah dewasa, pengaruh dari luar pun sangat besar artinya bagi kita. Bila baik pengaruh yang kita terima, maka baiklah perilaku yang akan kita pertunjukkan. Demikian juga sebaliknya, bila kelompok pergaulan yang kita ikuti tidak baik, maka akan demikian juga lambat-laun pribadi kita. Ingat filter kita tidaklah seperti filternya ikan yang mampu tetap hambar di tengah hidup yang asin.

Sebelum sampai ke titik akhir, setelah mengetahui bagaimana faktor luar mempengaruhi kita, ada satu hal yang sangat sangat penting yang perlu juga kita ingat yaitu kita pun memiliki andil untuk memberi pengaruh kepada masyarakat lingkungan kita. Tinggallah kita sekarang mesti bertanya kepada diri sendiri pengaruh apa yang akan kita berikan kepada pihak lain, mau menjadikan seperti apa komunitas kelompok pergaulan yang kita terlibat di dalamnya.

Mari kita warnai hidup dan pergaulan kita dengan warna-warna yang diridhoi Ilahi.

Shibghah (warna celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah. (QS. Al Baqarah [2]:138)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 5 Juli 2002

Surat An Naba’

Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata, "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." (QS. An Naba’ [78]: 40)

Membaca terjemahan ayat di atas, kita akan temukan suatu ungkapan pernyataan dari orang kafir yang cukup mengundang pertanyaan. Di dalam ayat ini orang-orang kafir menyatakan bahwa mereka menginginkan penciptaan diri bukan sebagai manusia tetapi mereka merasa lebih baik menjadi tanah. Mereka mengungkapkan hal ini ketika diperlihatkan semua apa yang telah diperbuat oleh tangannya dan melihat bahwa amal yang mereka telah kerjakan selama di dunia adalah amal keingkaran. Tetapi mengapa tanah? Mengapa mereka menginginkan, atau seperti ungkapan dalam ayat di atas, mengapa mereka mengira lebih baik dahulu tercipta menjadi tanah?

Seperti kita ketahui, ayat di atas atau sebagian besar surat An Naba [QS: 78] mulai ayat 17 sampai 40 menceritakan tentang hari akhir yaitu hari untuk menghitung amal perbuatan selama di dunia. Inilah yaumul fasl, Hari Keputusan yang pada hari itu ditiup sangkakala yang menandakan akhir kehidupan dunia dan dibangkitkannya kembali manusia untuk menyaksikan penghitungan amal dan mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya selama di dunia. Orang-orang yang beruntung pada hari itu akan menerima pembalasan berupa kenikmatan-kenikmatan surga sedangkan orang-orang yang merugi, yang selama hidupnya di dunia diberikan kesempatan untuk tunduk taat kepada Allah SWT tetapi justru kesombongannya dan kebodohannya menggiringnya untuk ingkar kepada-Nya akan mendapatkan pembalasan jahannam. Dan seperti kita semua paham, orang-orang kafir termasuk dalam golongan orang yang merugi. Pernyataan mereka yang menginginkan penciptaan menjadi tanah sebenarnya adalah ungkapan penyesalan. Tetapi kembali, mengapa tanah?

Di dalam tafsir ayat ini dijelaskan bahwa mereka ternyata mengungkapkan hal ini karena mereka menyesal, frustasi melihat rapor hasil akhir penghitungan amalnya. Demikian menyesalnya mereka sehingga mereka berandai-andai diciptakan menjadi tanah dengan keyakinan bahwa dengan menjadi tanah mereka akan terbebas dari kewajiban mempertanggungjawabkan amal perbuatan selama di dunia (Lihat tafsir Jalalain).

Ikhwan Fillah, surat An Naba’ ini memberitakan tentang hal-hal yang akan berlaku kelak pada hari pembalasan. Salah satu kejadian yang diberitakan adalah diberikannya pembalasan berupa kenikmatan bagi orang-orang yang bertakwa dan pembalasan neraka jahannam sebagai tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas (QS An Naba’ [78]: 21-22). Selain itu dapat juga kita jumpai berita penyesalan yang begitu mendalam dari orang-orang yang ingkar terhadap perintah-perintah Allah SWT bahkan melampui batas dalam keingkaran kepada-Nya. Mereka begitu menyesal dan berandai-andai dengan perandai-andaian kosong, perandai-andaian sia-sia dan tak mungkin berlaku.

Khusus untuk perandai-andaian orang-orang kafir ini, kita dapat merasakan kemustahilannya untuk terjadi. Mereka sudah diberikan kesempatan untuk tunduk dan taat, tetapi mereka justru ingkar. Tentu kita tidak menginginkan hal yang begitu menyedihkan ini berlaku pada kita. Terlepas dari bagaimana pun kualitas ketakwaan kita, bagaimana pun kualitas kepatuhan kita menjalankan perintah-perintah Allah, kita semua tentu menginginkan balasan berupa kenikmatan-kenikmatan surga, jauh dari siksa.

Tetapi dapatkah juga kita merasakan bahwa hal ini ternyata juga bisa berlaku pada diri kita? Bukankah telah sering kita mendengar aturan-aturan Ilahi tetapi kita juga sering melalaikannya, melanggarnya bahkan dengan sengaja bukan karena tidak tahu? Seringkali kita mendengar tuntunan-tuntunan Ilahi, melalui televisi, radio, berdiskusi dengan rekan, buku-buku bacaan dan koran tetapi sering pula kita menganggapnya angin lalu, masuk ke kepala hanya untuk numpang lewat kemudian diabaikan. Naudzubillah.

Mari kita awali hari kita dengan ketaatan kepada-Nya agar terhindar kita dari penyesalan yang begitu mendalam kelak di hari pembalasan.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepada kamu bukti-bukti kebenaran maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah [2]: 208-209)

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 8 Juli 2002

Tak Pernah Kecewa Berdoa

Surat Maryam (QS. 19) diawali dengan munajat seorang hamba yang juga adalah Rasul Allah, yaitu Nabi Zakaria ‘alaihissalam. Munajat ini beliau sampaikan ketika beliau merasa khawatir karena di usia yang sudah tua, tulang yang semakin lemah dan uban yang semakin banyak di kepala, belum juga ada keturunan yang akan melanjutkan garis perjuangan. Dengan suara yang lembut beliau bermunajat, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu. (QS. Maryam [19]: 4)

Dengan penuh rasa kedekatan kepada Ilahi, nabi Zakaria ‘alaihissalam melanjutkan doanya, mengungkapkan semua isi hatinya kepada Allah, Sang Pengabul Doa:

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhoi". (QS. Maryam [19]: 5-6)

Di akhir riwayat mengenai nabi Zakaria ‘alaihissalam ini, kita dapat menemukan bahwa Allah SWT mengabulkan doa nabi Zakaria ‘alaihissalam dengan menganugerahkan seorang anak laki-laki yang kelak pun menjadi nabi, yaitu nabi Yahya ‘alaihissalam. Inilah kekuatan doa yang disampaikan dengan ikhlas. Mengabulkannya adalah hal yang mudah bagi Allah SWT walaupun secara sepintas kita pun dapat melihat kondisi yang tidak mungkin secara logika. Nabi Zakaria ‘alaihissalam bermunajat mengadukan dirinya yang sudah tua, uban yang semakin banyak dan tulang yang semakin lemah ditambah pula istrinya yang juga mandul.

Dari cuplikan kisah mengenai munajat nabi Zakaria ‘alaihissalam ini, kita dapat melihat kaifiyah, cara-cara berdoa yang baik. Nabi Zakaria ‘alaihissalam mencontohkan bahwa berdoa itu mesti dilakukan dengan ikhlas tanpa hambatan malu-malu. Ini terlihat dengan terus-terangnya beliau menumpahkan semua isi hatinya, tanpa malu-malu ‘membongkar’ keadaan dirinya yang sudah beruban dan kondisi yang sudah lemah ditambah kondisi istri beliau yang dikenal mandul. Walau pun demikian beliau tetap berterus-terang menginginkan seorang penerus, seorang anak yang dapat mewarisi kebesaran keluarga Ya’kub ‘alaihissalam. Lebih dari itu beliau memohon agar anak itu kelak termasuk anak yang diridhoi. Apa lagi permintaan yang lebih tinggi dari ini? Dalam kondisi yang sekilas tidak mungkin, nabi Zakaria ‘alaihissalam meminta dianugerahkan hal yang tidak tanggung-tanggung. Apa lagi yang mendasari keyakinan seperti ini kalau bukan rasa berharap yang tinggi, berharap terhadap anugerah Allah SWT yang tak terhingga. Ini yang pertama.

Berikutnya kita juga dapat melihat bahwa walaupun sedemikian tinggi permohonan beliau, tetap saja beliau sampaikan dengan tawaddu’ rendah hati tanpa kesombongan dan dengan suara yang lembut, perlahan-lahan (QS Maryam [19]: 3).

Kembali ke potongan awal doa nabi Zakaria ‘alaihissalam, dengan rendah hati penuh harap beliau mengakui bahwa karunia Ilahi sangat tak terhingga bahkan beliau dengan jujur mengakui: dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu.

Ikhwan Fillah, pada permulaan surat Maryam ini Allah SWT sedang mempertontonkan kepada kita sebuah episode keikhlasan doa dari seorang hamba. Pengakuan beliau yang menyatakan tidak pernah kecewa berdoa kepada Allah SWT adalah kesadaran mengenai sifat Maha Rahman, Maha Kasihnya Allah karena mengabulkan segala permohonan, bahkan sebelum doa permohonan tersebut terucap di bibir kita. Beliau menyadari bahwa nikmat yang telah diberikan, tidak mungkin akan terhitung jumlahnya. Inilah kesadaran penghambaan, pengakuan jujur tanpa kesombongan dari seorang hamba. Dan Al Qur’an menyatakan beliau termasuk dalam golongan hamba-hamba yang saleh (QS. Al An’am [6]: 85).

Yang dapat kita ambil pelajaran dari riwayat Qur’ani ini adalah dalam berdoa kita harus dapat menghadirkan keikhlasan, penuh harap dengan kesadaran yang tinggi dari hati nurani bahwa Allah SWT mengabulkan semua permohonan. Yakinkan diri bahwa doa yang kita sampaikan adalah juga bukti penghambaan kita, bukti pengakuan bahwa kita ini lemah dan yang perkasa hanyalah Allah. Inilah keikhlasan. Kesadaran kita mestinya juga jujur mengakui banyaknya anugerah Ilahi yang kita nikmati selama ini. Dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu.

Mari kita memohon kepada Allah dengan Ikhlas, bermunajat mendekatkan diri, berdoa kepada-Nya terutama di tengah-tengah malam yang sunyi, tahajjud kepada Ilahi.

Billahittaufiq Wal Hidayah
Sumbawa, 9 Juli 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar